Kedudukan Khaataman Nabiyyiin saw. Dan Tulisan-tulisan Penuh Makrifat Dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah

on Senin, 09 Maret 2009

Tanggapan Terhadap Tuduhan Mengingkari Khatamun Nubuwwat

“Inti dan saripati akidah saya adalah: Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rasuulullah. Kepercayaan yang saya anut dalam kehidupan di dunia ini, dan -- atas karunia serta taufik Allah Ta'ala -- dengannya saya akan meninggalkan alam tempat berlalu ini, ialah, bahwa Sayyidina wa Maulana Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Khaataman Nabiyyiin dan Khairul Mursaliin. Melalui tangan beliaulah agama telah sempurna, dan nikmat/anugerah telah mencapai derajat paling lengkap, yang dengan perantaraan itu manusia menempuh jalan lurus lalu dapat mencapai Allah Ta'ala.” (Izalah Auham)

Tuduhan ini jelas-jelas keliru dan merupakan kedustaan. Yakni, na’udzubillaah, Jemaat Ahmadiyah mengingkari ayat Khaataman-nabiyyiin dan tidak mengakui Nabi Muhammad Mushthafa Khatamul Anbiya saw. sebagai Khaataman Nabiyyiin. Sungguh aneh, tuduhan ini dilontarkaan terhadap suatu Jemaat di antara seluruh golongan umat Islam, yang secara teguh meyakini bahwa jangankan satu ayat Al-Qur’an Suci, satu noktah atau satu titikpun tidak ada yang mansukh. Padahal sebaliknya, menurut para ulama dari golongan-golongan lain, sebagian ayat Al-Qur’an telah dimansukhkan melalui sebagian ayat lainnya, dan sekarang ayat-ayat itu bagaikan usus buntu dalam tubuh manusia. Jadi, bukankah ini suatu hal yang aneh ? Yakni golongan-golongan yang mempercayai bahwa di dalam Al-Qur’an Karim terdapat 5 hingga 500 ayat telah dimansukhkan, melontarkan tuduhan mengingkari satu ayat Al-Qur’an Karim terhadap sebuah golongan yang memiliki akidah bahwa jangankan satu ayat, satu noktahpun tidak ada yang mansukh.

Apalagi namanya kalau bukan keaniayaan dan kezaliman ? Di satu sisi Jemaat Ahmadiyah bersiteguh menyatakan bahwa begitulah akidah kami dan itulah yang berkali-kali ditekankan pendiri Jemaat Ahmadiyah kepada kami. Yakni, Al-Qur’an adalah kitab Allah yang terakhir dan sempurna; Muhammad Mushthafa saw. adalah rasul-Nya yang terakhir dan paling sempurna, serta merupakan Khaatamun Nabiyyiin. Di sisi lain, para ulama penentang, memberikan jawaban pada kami, “Walaupun kalian mengatakan demikian, dalam makna tertentu kalian tetap masih menganggap ada kemungkinan bagi kedatangan nabi. Oleh sebab itu kalian mengingkari makna ayat suci tersebut! Jadi, secara nyata kalian terhitung mengingkari ayat itu.”

Inilah alasan terbesar para penentang Jemaat, yang dengan kekuatannya mereka bangkit membawa tekad untuk mengeluarkan Jemaat Ahmadiyah dari Islam. Mari kita simak hakikat tuduhan ini dengan hati yang sejuk. Dan dengan tenang serta adil, kita simpulkan bahwa para penuduh itu jauh dari kebenaran. Jangan-jangan tuduhan itu berlaku pada diri mereka sendiri, dan mereka bakal terkena sangsi karena menuduh pihak lain mengingkari ayat tersebut.

Pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah, kami mengimani seluruh makna ayat Khaataman-nabiyyiin yang bersesuaian dengan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ orang-orang shaleh terdahulu, ungkapan-ungkapan dan bahasa Arab. Kami mengimani makna harfiah ayat ini, dan juga mengimani makna-makna hakikinya, yang intinya, Rasulullah saw. adalah paling sempurna dari seluruh nabi; stempel para nabi; dan merupakan perhiasan para nabi. Seluruh potensi nubuwwat telah berakhir pada beliau. Kunci setiap fadhilah/keunggulan telah diserahkan ke tangan beliau. Syariat beliau -- yakni Al-Qur’an dan Sunnah -- akan terus berlaku hingga kiamat, dan meliputi seluruh penjuru dunia. Setiap manusia berkewajiban untuk mempercayainya. Tidak ada seorangpun yang dapat memansukhkan Syariat ini barang setitikpun. Jadi, beliau adalah Rasul pembawa syariat terakhir dan Imam terakhir yang wajib ditaati. Beliau adalah penutup sekalian nabi, secara jasmani maupun secara rohani. Tidak ada seorang nabi yang dapat terlepas dari lingkup ke-khatam-an beliau, dari sisi manapun. Setelah kedatangan beliau, tidak mungkin ada nabi terdahulu yang secara jasmani tetap hidup di dalam era beliau. Tidak mungkin, beliau telah berlalu dari dunia ini, kemudian ada nabi terdahulu lainnya yang masih hidup secara jasmani. Na’udzubillaah, nabi tersebut wafat setelah menyaksikan ke-khatam-an beliau secara jasmani.

Dalam makna-makna hakikipun beliau saw. merupakan penutup sekalian nabi. Tidak mungkin karunia nabi terdahulu masih berkelanjutan setelah kedatangan beliau, dan mampu menganugerahkan suatu kedudukan rohani yang terendah sekalipun kepada seseorang manusia. Beliau merupakan penutup bagi karunia-karunia segenap nabi lainnya. Namun, karunia-karunia beliau saw. tetap berlangsung hingga Kiamat. Segenap karunia dan anugerah rohani yang dahulu senantiasa diraih oleh umat manusia dengan cara mengikuti nabi-nabi sebelumnya, lebih besar dari itu akan dianugerahkan kepada umat manusia hingga hari Kiamat melalui beliau dan melalui khazanah beliau. Ringkasnya, kami mengakui Rasulullah saw. sebagai Khaataman Nabiyyiin dalam makna harfiah maupun hakiki. Dan kami secara hormat berani memaparkan kenyataan yang pahit ini, bahwa selain para pengingkar hadits, para ulama dari segenap golongan penentang kami, tidak mengakui Rasulullah saw. sebagai Khaataman Nabiyyiin dalam makna-makna tersebut. Walaupun mereka mengatakan Rasulullah saw. sebagai penutup sekalian nabi, mereka menganut kepercayaan yang berlawanan. Yakni, na'udzubillaah, Rasulullah saw. tidak mampu menjadi penutup bagi Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., secara jasmani maupun secara rohani. Ketika beliau saw. datang, hanya ada satu nabi lain yang masih hidup secara jasmani. Namun, disayangkan, dia tidak berakhir di masa hidup beliau saw.. Beliau telah wafat, tetapi dia masih tetap hidup. Rasulullah saw. telah berlalu 1400 tahun silam, tetapi Nabi Israili ini masih tetap hidup sampai sekarang. Cobalah bersikap adil sedikit. Dari segi makna-makna jasmani kata khaatam/penutup, menurut orang-orang yang percaya Almasih a.s. masih hidup, siapa yang telah menjadi penutup antara keduanya ?

Kemudian para ulama ini secara amalan juga mengakui Almasih a.s. sebagai khaatam dari segi rohani. Sebab, mereka percaya bahwa Rasulullah saw. tidak mampu menutup karunia Almasih. Karunia nabi-nabi lain telah habis sejak sebelumnya, dan segenap jalan keselamatan lain telah tertutup. Almasih sendiri yang masih hidup. Namun disayangkan, jalan bagi karunia Almasih tidak dapat ditutup. Tidak hanya itu, kekuatan karunianya telah menjadi sangat besar dibandingkan sebelumnya. Walaupun ada kekuatan suci Rasulullah saw. yang sangat agung, umat Islam tetap terkena penyakit-penyakit rohani yang berbahaya. Umat ini dikepung oleh berbagai macam penyakit rohani. Kekuatan suci Rasulullah saw. secara langsung tidak mampu menyelamatkan ini. Ya, seorang rasul Bani Israil, melalui semburan napas ke-masih-annya, dapat menyelamatkan umat ini dari cengkeraman maut serta menganugerahkan suatu kehidupan rohani baru. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Apakah dari itu tidak terbukti dengan jelas bahwa orang-orang yang percaya Almasih masih hidup, tidak menganggap Rasulullah saw. sebagai penutup sekalian nabi, dari segi karunia ? Bahkan mereka yakin pada saat ini hanya ada satu orang nabi yang masih hidup, dan Rasulullah saw. tidak mampu menutup karunia nabi itu. Bahkan, na'udzubillaah, Nabi Israili itu telah wafat ketika umat Islam sangat berhutang budi kepadanya.
Perhatikanlah! Tidakkah Nabi Isa a.s. dianggap sebagai khaataman nabiyyiin dalam makna jasmani maupun rohani ? Tidakkah hal ini jelas-jelas menghina Rasulullah saw ? Tidakkah hal ini menghancurkan ruh ayat Khaataman-nabiyyiin ? Dan tetap saja dinyatakan bahwa orang Ahmadi mengingkari Khaataman Nabiyyiin, sedangkan mereka mempercayai Khaataman Nabiyyiin, bahkan melindunginya. Apakah keadilan benar-benar telah hilang dari dunia ? Apakah segenap pertimbangan akal sehat akan diabaikan ? Apakah keputusan ini tidak akan ditimbang secara adil, melainkan kebenaran dan kebatilan serta keselamatan ukhrowi akan diputuskan hanya berdasarkan kekuatan mayoritas ? Semoga Allah tidak menjadikannya demikian. Semoga Allah benar-benar tidak menjadikannya demikian. Namun, jika terjadi seperti itu, mengapa yang digembar-gemborkan adalah takwa Ilahi. Kenapa hal itu tidak disebut saja hukum rimba ? Dan kenapa untuk ketidakadilan ini digunakan nama suci Allah dan Rasul ? Apapun nama baik yang diberikan untuk suatu kehancuran, tetap saja ia merupakan kehancuran.

Kepada kami dikatakan, "Kalian sepenuhnya tidak mengakui Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir. Dan dengan cara penafsiran, kalian membuka jalan bagi kedatangan seorang nabi ummati dan zilli. Sehingga dengan itu kalian telah melanggar Khatamun Nubuwwat."

Kami mengakui bahwa munculnya nabi ummati seperti itu dalam umat Islam -- yang merupakan hamba kamil Rasulullah saw. dan sepenuhnya meraih karunia dari beliau saw. -- sama sekali tidaklah menentang makna ayat Khaataman-nabiyyiin. Sebab, hamba yang fana dan kamil, tidak dapat dipisahkan dari majikannya. Kami bertanggung jawab untuk membuktikan pendirian kami ini dari Al-Qur’an Hakim, sabda-sabda Nabi Muhammad saw., ucapan-ucapan para pemuka umat, dan dari ungkapan-ungkapan bahasa Arab. Dalam kaitan itu, pada halaman-halaman berikut ini akan dipaparkan suatu hasil pembahasan. Namun sebelumnya, kami akan meninjau orang-orang yang melontarkan tuduhan kepada kami sebagai penghancur segel/stempel kenabian. Yakni, bagaimana kedudukan akidah mereka. Mereka secara zahir menda’wakan bahwa mereka -- secara mutlak, tanpa syarat, tanpa pengecualian dan dalam setiap makna -- mengakui Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir. Dan sesudah beliau, mereka tidak mengakui kedatangan nabi jenis apapun. Namun, jika dipertanyakan kepada mereka, maka terpaksa mereka mengatakan, “…kecuali Nabi Isa a.s. yang suatu hari nanti pasti akan turun di tengah umat ini.”

Apabila anda mempersoalkannya kepada mereka -- yakni, “Kalian telah mengatakan bahwa Rasulullah saw. secara mutlak, tanpa pengecualian, adalah nabi terakhir, dalam makna bahwa sesudah beliau tidak akan datang nabi jenis apapun; bagaimana pula kalian telah memperoleh hak untuk menimbulkan pengecualian ?” Maka sebagai jawabannya mereka paparkan penakwilan yang sangat tidak bermakna. Yakni, “Dikarenakan Nabi Isa adalah seorang nabi terdahulu, oleh sebab itu kedatangannya yang kedua kali, tidak akan memecahkan segel/stempel Khatamun Nubuwwat.” Apabila dipertanyakan kepada mereka, apakah beliau akan datang membawa syariat Musa ? Maka mereka mengatakan tidak, melainkan beliau akan datang tanpa syariat. Kemudian apabila ditanyakan, “Dalam bentuk demikian, apa jadinya tugas perintah dan larangan bagi beliau ? Hal-hal apa yang akan beliau nasihatkan, dan hal-hal apa yang akan beliau larang ?” Maka mereka mengatakan, pertama-tama beliau akan menjadi anggota umat Islam, kemudian mengikuti Syariat Islam, lalu menjadi nabi. Lebih lanjut mereka tidak mampu menjawab berbagai macam pertanyaan. Yakni, apakah ulama-ulama yang akan mengajarkan Syariat Islam kepada Almasih ? Atau, kepada beliau akan diberikan pengetahuan tentang Al-Qur’an, Hadits, dan Sunnah melalui wahyu dari Allah Ta'ala secara langsung ? Namun, dari pemeriksaan ini terbukti dengan telak bahwa mereka sendiri tidak mempercayai Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir secara penuh. Bahkan mereka memberikan pengecualian bahwa sesudah Rasulullah saw. dapat saja datang seorang nabi lama, yang bukan pembawa syariat, ummati, mengikuti Syariat Islam kata demi kata, dan mengajarkannya, tanpa memecahkan segel kenabian.

Kami berhak menanyakan kepada orang berakal, bijak, dan adil. Apakah bagi penganut akidah semacam itu, dari sisi logika maupun keadilan, dapat dibenarkan untuk mengatakan bahwa sesudah Rasulullah saw. tidak akan dapat lagi datang nabi jenis apapun ?

Permasalahan yang sebenarnya adalah, berdasarkan sabda-sabda Sang Khaataman Nabiyyiin saw., kami dan orang-orang selain kami serta segenap pihak yang mengakui hadits, terpaksa menganut akidah bahwa “Isa Nabiullah” memang akan turun di kalangan umat ini ?

Kami, berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan Hadis yang jelas, mengetahui pula bahwa Isa Ibnu Maryam telah wafat. Oleh sebab itu sabda tersebut di atas kami artikan sebagai berikut. Yakni “Isa Nabiullah” yang bakal datang itu, akan lahir di kalangan hamba-hamba Rasulullah saw. dalam umat Islam ini juga. Dan dari Al-Qur’an, Hadits, serta ucapan-ucapan para tokoh Agama Islam, kami membuktikan bahwa tokoh yang dijanjikan bakal datang itu, juga akan berkedudukan sebagai nabi Allah, serta sebagai ummati Rasulullah saw.. Dan akidah ini sama sekali tidak bertentangan dengan ke-khatam-an Nabi Muhammad saw..

Namun, para ulama lain berusaha menenteramkan hati mereka dengan penakwilan berikut. Yakni, jika nabi terdahulu itu datang kembali -- dikarenakan dia telah lahir terlebih dahulu, dan sejak sebelumnya telah dianugerahkan pangkat kenabian, sehingga dia tidak dapat dinyatakan sebagai yang terakhir -- maka jalan kedatangan bagi nabi terdahulu itu masih tetap terbuka tanpa memecahkan segel kenabian.

Poin dasar dalam pemaparan dalil seperti itu adalah, nabi yang telah lahir terlebih dahulu tidak dapat dinyatakan sebagai nabi terakhir. Apabila kita menyimak dalil seperti itu, maka tampak sangat lemah dan sia-sia.

Pertanyaannya adalah, jika hari ini di hadapan seorang pemuda berusia 20 tahun lahir seorang bayi, lalu dalam beberapa hari bayi itu meninggal, kemudian pemuda tersebut meninggal dunia 80 tahun berikutnya dalam usia 100 tahun, maka siapa yang akan ditulis terakhir oleh penulis sejarah ? Yakni, siapa yang akan dinyatakan terakhir oleh penulis sejarah yang memiliki pemahaman mendalam serta akal yang sehat ?

Apakah anak bayi itu, yang lahir belakangan, namun meninggal setelah hidup beberapa hari saja ? Ataukah pemuda yang telah lahir dahulu itu, yang wafat 80 tahun setelah kematian bayi tadi, dalam usia 100 tahun ?

Disayangkan, persis seperti itulah bentuk yang dipaparkan para ulama penentang kami. Dan mereka tidak melihat titik kelemahan logika tersebut. Mereka tidak memperhitungkan bahwa berdasarkan keterangan mereka, usia Nabi Isa a.s. kurang lebih 600 tahun ketika Nabi Muhammad Mushthafa saw. dilahirkan. Dalam usia 63 tahun, Rasulullah saw. telah wafat di masa hidup Nabi Isa. Dan sampai sekarang lebih 1400 tahun Isa Nabiullah itu masih tetap hidup. Cobalah katakan, ketika nanti dia turun, lalu akhirnya akan wafat setelah melaksanakan tugasnya, maka siapa yang akan dinyatakan sebagai yang terakhir dari segi waktu oleh seorang penulis sejarah yang objektif?

Menurut para ulama zahir, ayat Khaataman-nabiyyiin dari segi zaman/waktu tidak memberikan hak kepada siapapun sesudah Rasulullah saw. untuk menjadi yang terakhir. Lalu apa pula hak para ulama zahir itu untuk menyatakan Nabi Isa a.s. sebagai nabi terakhir dari segi waktu ? Pengingkaran terhadap hakikat tersebut sekedar dari mulut saja, tidaklah mengandung makna apapun. Sebab, mereka secara amalan mengakui Nabi Isa a.s. sebagai nabi yang paling terakhir di dunia ini ratusan tahun setelah Rasulullah saw..

Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah memaparkan gambaran yang lengkap dan menarik tentang ke-khatam-an Nabi Muhammad saw.. Gambaran itu benar-benar sangat langka dan tiada duanya. Beliau telah menguraikan tafsir ayat Khaataman-nabiyyiin dari berbagai aspek di dalam buku-buku beliau, berdasarkan Al-Qur’an Suci, dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap bagiannya menarik manusia ke arah iman dan irfan.

Beliau telah menggunakan istilah yang luar biasa dan sangat mengesankan. Yakni, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Hidup; Kitab kita, Al-Qur’an Majid, adalah suatu kitab yang hidup; dan Rasul kita, Yang Mulia Khaatamun Nabiyyiin Muhammad Mushthafa saw. adalah rasul yang hidup. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh beliau di dalam umat Islam. Dan secara benar beliau telah mempersiapkan kecintaan yang hakiki terhadap Muhammad Arabi saw., dalam kaitan dengan ke-khatam-an Nabi Muhammad.

Ketiga permasalahan pokok ini -- yakni keimanan terhadap Allah, keimanan terhadap Kitab, dan keimanan terhadap Rasul -- satu sama lain saling terkait dan saling berhubungan secara mendalam sehingga satu unsur tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur lainnya. Jadi, tidaklah mungkin dengan mengenyampingkan unsur-unsur lain, akidah-akidah dan pandangan-pandangan Pendiri Jemaat Ahmadiyah tentang suatu perkara dapat disimak. Jadi, tentang Khataman Nubuwwat, mutlak bagi kita untuk memperhatikan keimanan, akidah-akidah dan pandangan-pandangan beliau tentang Allah Ta'ala serta Al-Qur’an Karim. Sebab, jika tidak, penyimakan pemahaman beliau tentang Khatamun Nubuwwat, tidak dapat diketahui secara sempurna.

Kini kami mulai dengan masalah Allah Ta'ala. Kami paparkan beberapa kutipan dari pendiri Jemaat Ahmadiyah, yang insya Allah sesudah itu akan terbukti sangat membantu dalam memahami masalah Khatamun Nubuwwat.

0 komentar:

Posting Komentar