Definisi Muslim & Pendirian Jemaat Ahmadiyah

on Senin, 09 Maret 2009

Di seluruh dunia, ini suatu hal yang telah diakui bahwa sebelum menetapkan kategori seseorang atau suatu kelompok, maka terlebih dahulu ditentukan definisi lengkap tentang kategori tersebut, yang akan berfungsi sebagai ukuran. Selama definisi itu tegak, maka akan mudah untuk memutuskan apakah seseorang atau suatu kelompok dapat dimasukkan dalam kategori itu atau tidak. Dari segi ini permohonan kami adalah, sebelum menelaah persoalan ini lebih lanjut, hendaknya ditetapkan suatu definisi maksimal dan minimal yang disepakati, tentang Muslim. Yaitu suatu definisi yang tidak hanya disepakati oleh segenap golongan di kalangan umat Islam, melainkan juga disepakati oleh umat Islam di segala zaman. Dalam kaitan itu adalah penting untuk memperhatikan persoalan-persoalan yang tertera di bawah ini:


A: Apakah dari Kitabullah atau Rasulullah saw. ada suatu definisi tentang Muslim yang tanpa kecuali telah disampaikan pada masa Rasulullah saw. sendiri? Jika ada, apa definisi itu ?
B: Di luar definisi itu – yang telah diuraikan oleh Kitabullah dan Rasulullah saw., dan yang terbukti telah disampaikan pada masa Rasulullah saw. sendiri – apakah dibenarkan atau tidak untuk menetapkan suatu definisi lain pada zaman tertentu ?
C: Selain definisi tersebut di atas, jika ada definisi-definisi lain tentang Muslim yang berasal dari berbagai ulama atau golongan-golongan di berbagai zaman, apa saja definisi-definisi itu? Dan bagaimana kedudukan definisi-definisi itu secara syariat di hadapan definisi yang telah diuraikan pada bagian pertama ?
D: Di zaman Abu Bakar Shiddiq r.a., pada masa terjadi pergolakan kemurtadan, apa-
kah Abu Bakar Shiddiq r.a. ataupun para sahabah Rasulullah saw. telah merasa perlu untuk mengadakan suatu perubahan pada definisi yang sudah ditetapkan di zaman Rasulullah saw. ?
E: Apakah di zaman Nabi saw. atau di zaman Khilafat Rasyidah ada suatu contoh di mana walaupun seseorang itu mengikrarkan Kalimah “Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah” dan mengimani keempat Rukun Islam lainnya – yakni shalat, zakat, puasa dan haji – lalu dia tetap saja telah dinyatakan sebagai non-Muslim ?
F: Jika hal ini diizinkan, yakni seseorang walau mengimani kelima Rukun Islam lalu tetap saja dinyatakan keluar dari Islam karena dia menafsirkan beberapa ayat Qur’an Karim yang tidak dapat diterima para ulama dari golongan-golongan lain, atau dia dinyatakan keluar dari Islam karena dia menganut suatu akidah yang menurut beberapa golongan lain bertentangan dengan Islam, maka adalah penting untuk juga menetapkan penafsiran-penafsiran dan akidah-akidah seperti itu. Supaya, hal-hal itu dimasukkan ke dalam definisi Muslim yang sudah dikukuhkan, yakni selain kelima Rukun Islam, jika di dalam akidah-akidah suatu golongan terdapat hal-hal tersebut maka golongan itu dapat dinyatakan keluar dari Islam.
G: Walau mengimani kelima Rukun Islam, jika pintu untuk mengkafirkan golongan-golongan Muslim tertentu dibukakan, yang disebut pada bagian E, maka memperhatikan hal-hal semacam itu secara logika dan secara adil adalah penting. Yaitu hal-hal yang dengan mempertimbangkannya berbagai ulama secara telak telah menyatakan golongan-golongan lain, di luar golongan mereka, sebagai kafir, murtad, atau keluar dari Islam. Sebagai contoh dipaparkan beberapa hal di bawah ini:

1. Akidah mengenai Al-Qur’an sebagai makhluk atau non-makhluk. (Asyaa’arah -- Hanabalah).
2. Tidak meyakini Rasulullah saw. sebagai manusia, melainkan sebagai cahaya. (Brelwi).
3. Tidak meyakini Rasulullah saw. sebagai cahaya, melainkan sebagai manusia. (Ahli Hadits).
4. Mengimani Rasulullah saw. sebagai sesuatu yang selalu ada (haadhir) dan melihat (naazhir), dan juga sebagai ‘aalimul-ghaib. (Brelwi).
5. Mengimani bahwa meminta pertolongan kepada orang-orang suci yang sudah wafat adalah sah, dan banyak sekali para wali yang telah wafat itu memiliki kekuatan untuk memenuhi permintaan siapapun bila dimohonkan. (Brelwi).
6. Menganut akidah bahwa di dalam Syariat tidak ada yang dapat dipercaya selain Al-Qur’an. Oleh karena itu kita tidak terikat untuk menuruti Sunnah Rasul saw. dan Hadits-hadits Rasul saw., tidak perduli betapapun riwayat-riwayat itu mutawatir dan qawi sampai ke tangan kita. (Chakralwi – Parwezi)
7. Menganut akidah bahwa selain surah-surah yang tertera di dalam 30 juz Al-Qur’an terdapat beberapa surah yang di dalamnya disebutkan tentang Ali r.a., tetapi surah-surah itu sudah dibuang. Dengan demikian Al-Qur’an yang telah turun kepada Rasulullah saw. itu tidak sampai kepada kita dalam bentuk yang lengkap. (Ghali Syi’ah).
8. Menganut akidah bahwa di tempat-tempat pertemuan, selain shalat lima waktu, dibenarkan untuk bermunajat di hadapan foto tokoh suci tertentu. Dan bukannya menujukan kepada Tuhan, melainkan dengan menujukan kepada foto tokoh suci itu adalah dibenarkan untuk memanjatkan doa. Dan doa ini adalah pengganti shalat. (Firqah Ismaili).
9. Menganut akidah bahwa selain lima wujud suci dan enam sahabah lainnya, segenap sahabat Rasulullah saw. – termasuk tiga tokoh Khulafa Rasyidin, Abu Bakar r.a., Umar r.a., dan Usman r.a. – telah menyimpang dari Islam dan, na’udzubillaah, mereka berstatus munafik. Kemudian berakidah bahwa ketiga khalifah pertama, na’udzubillaah, merampas kedudukan secara paksa. Oleh karena itu mengutuk dan mencerca mereka tidak hanya dibenarkan, melainkan suatu keharusan. (Syi’ah).
10. Menganut akidah mengenai tokoh suci tertentu bahwa Tuhan secara sementara atau permanen telah merasuk di dalam dirinya. (Firqah Hululi).

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas adalah penting, sebab dari kesaksian-kesaksian yang telak dan kuat, telah terbukti bahwa mengenai setiap akidah dari yang dipaparkan itu, para ulama dan mujtahidin dari berbagai golongan umat Islam telah mengeluarkan fatwa tegas bahwa penganut akidah semacam itu adalah keluar dari Islam walaupun mereka mengimani unsur-unsur penting lainnya dalam agama. Dan orang yang meragukan kekufuran merekapun tidak disangsikan lagi akan dinyatakan keluar dari Islam. Beberapa fatwa mengenai hal itu, silahkan simak suplemen no. 4.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, kami dengan sangat tegas menyerukan, jika pada hakikatnya yang dimaksud adalah menelaah kedudukan Jemaat Ahmadiyah dalam Islam dengan mempertimbangkan tuntutan-tuntutan akal dan keadilan, atau yang dimaksud adalah mengambil ketetapan tentang seseorang atau suatu golongan dalam Islam yang menganut penafsiran tertentu mengenai ayat Khaataman Nabiyyiin, maka tetapkanlah suatu standar ukuran sedemikian rupa yang dengan itu kekufuran setiap pihak yang menganut akidah bertentangan dengan Islam akan dapat ditemukan. Dan dalam bentuk apapun tidak ada hal yang memberatkan Jemaat Ahmadiyah dalam standar ukuran tersebut.

Mengenai segenap persoalan tersebut di atas, ringkasan pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah sebagai berikut.

Pertama, menurut Jemaat Ahmadiyah, definisi Muslim satu-satunya yang dapat diterima dan patut diterapkan hanyalah definisi yang secara jelas terbukti berasal dari Rasulullah saw., dan yang secara jelas diriwayatkan dari Rasulullah saw., dan terbukti diterapkan pada zaman Rasulullah saw. dan Khulafa Rasyidin. Tetapi dengan bergeser dari prinsip ini, apapun upaya yang dilakukan untuk mendefinisikan Muslim, hal itu tidak akan kosong dari kekurangan-kekurangan dan keburukan. Khususnya segenap definisi yang ditetapkan pada zaman-zaman belakangan (ketika Islam telah terpecah-pecah menjadi 72 golongan), juga sangat pantas untuk ditolak karena definisi-definisi itu satu sama lain saling bertentangan, dan tidak mungkin dalam satu waktu yang sama kesemua definisi itu dapat diterima. Dan tidak mungkin pula untuk mengambil satu definisi manapun, sebab dengan demikian maka seseorang itu akan dinyatakan non-Muslim berdasarkan definisi-definisi lainnya. Dan tetap tidak akan mungkin dapat keluar dari rawa lumpur ini dalam bentuk apapun. Hakim Muhammad Munir, pada waktu pemeriksaan tahun 1953, ketika memintakan kepada berbagai ulama untuk memberikan penjelasan mengenai definisi Muslim, maka disesalkan bahwa tidak ada dua orang ulamapun yang dapat sepakat mengenai satu definisi manapun. Mengenai hal itu, dengan mengungkapkan penyesalan beliau, Hakim Munir mengatakan:

“Dengan memperhatikan berbagai definisi yang telah dilakukan oleh para ulama, tidaklah perlu bagi kami untuk memberikan komentar apapun, kecuali bahwa, tidak ada dua orang ulamapun yang sepakat atas masalah dasar ini. Jika kami juga seperti seorang ulama memberikan satu definisi dari pihak kami, dan definisi itu berbeda dari segenap definisi lainnya, maka kami dengan sendirinya akan menjadi keluar dari Islam. Dan jika kami memakai definisi yang dilakukan oleh salah seorang dari antara ulama-ulama itu, maka kami memang akan tetap sebagai Muslim pada pandangan ulama tersebut, tetapi akan menjadi kafir berdasarkan setiap definisi lainnya.” (Report of The Court of Inquiry Constituted Under Punjab Act II of 1954 to Enquire into the Punjab Disturbances of 1953, h.218).

Dari kesimpulan yang dicapai oleh Hakim Munir itu hal ini secara tegas terbukti bahwa mengenai definisi Muslim, sampai pada penyusunan laporan (Report) itupun tidak pernah terjadi ijma’ yang darinya didapat suatu kesepakatan para shalihin terdahulu. Oleh karena itu, jika pada masa sekarang ini dipaparkan suatu definisi yang secara zahir tampaknya disepakati, maka definisi itu sama-sekali tidak dapat dinyatakan sebagai definisi hasil ijma’ umat, dan darinya tidak diperoleh kesepakatan para shalihin terdahulu.

Jadi, pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah, mengambil definisi yang mengandung hukum dan bersifat pokok tentang Muslim, yang telah disabdakan dari lidah Yang Mulia Khaatamul Anbiyaa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Definisi ini merupakan suatu piagam mulia bagi negara Islam. Untuk itu kami memaparkan tiga buah Hadits Nabi saw..

(1) Jibril a.s. dalam bentuk manusia datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya kepada beliau:

Artinya: “’Hai Muhammad! Beritahukanlah kepadaku tentang Islam.’ Rasulullah saw. bersabda: ‘Islam, ialah hendaknya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, mendirikan shalat, memberikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan beribadah haji di Baitullah jika engkau mampu menempuh di jalannya.’ Orang itu berkata: ‘Engkau benar!’ Perawi mengatakan: ‘Kami merasa heran kepada orang itu. Dia bertanya dan sekaligus membenarkannya.’ Kembali orang itu berkata: ‘Beritahukanlah kepadaku tentang Iman’. Rasulullah saw. bersabda: ’Hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta beriman kepada takdir, baik dan buruknya takdir.’ Orang itu berkata: ‘Engkau benar.’” (Shahih Muslim, Kitabul Iman)

(2)

Artinya: “Seorang laki-laki penduduk Najd datang kepada Rasulullah saw., tidak teratur rambut kepalanya. Kami mendengar suaranya tetapi tidak memahami apa yang dikatakannya sampai dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Rasulullah saw. bersabda: ‘Shalat lima kali dalam sehari semalam.’ Lalu dia berkata, 'Apakah ada kewajiban lain atasku ?' Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal! Rasulullah saw. bersabda: ‘Dan puasa Ramadhan.’ Ia bertanya: 'Apakah ada kewajiban lainnya atasku ?' Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal.’ Dan Rasulullah menuturkan kepadanya tentang zakat. Ia bertanya: ‘Apakah ada kewajiban lainnya atasku ?’ Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal.’ Lalu laki-laki itu berpaling seraya berkata: ‘Demi Allah, saya tidak menambah atas ini dan tidak pula menguranginya.’ Rasulullah saw. bersabda: ‘Berbahagialah dia, jika dia terbukti benar dalam ucapanya.” (Shahih Bukhari, Kitabul Iman, Bab Az-Zakatu minal Islam).



(3) {


Artinya: “Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, berkiblat pada kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah orang Muslim yang mempunyai jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu mengecoh Allah dalam hal jaminan-Nya. (Shahih Bukhari, Kitabul Shalat, Bab Fadhlistiqbaalil Qiblah).

Merupakan suatu ihsan agung Junjungan Suci kita saw. bahwa melalui definisi tersebut Rasulullah saw. dalam kata-kata yang sangat lengkap telah meletakkan fondasi antara bangsa-bangsa di dalam kesatuan dunia Islam. Dan merupakan kewajiban setiap pemerintahan Islam untuk mengakui fondasi/prinsip ini dalam pandangan mereka dengan sangat jelas. Jika tidak, maka tatanan umat Islam senantiasa akan hancur, dan pintu-pintu kekacauan tidak akan pernah dapat ditutup.
Setelah kurun pertama, selama 14 abad silam, apapun fatwa kufur yang telah dikeluarkan oleh berbagai ulama di berbagai zaman yang didasarkan pada definisi rancangan mereka sendiri, telah menimbulkan bentuk yang begitu mengerikan sehingga tidak ada tokoh suci agama, ulama-ulama, para sufi dan waliullah dari abad manapun yang keislamannya dapat bertahan selamat berdasarkan definisi-definisi tersebut. Dan tidak ada satu golonganpun dapat dikemukakan yang status kekufurannya tidak dinyatakan oleh sebagian golongan lainnya. Dalam kaitan ini dilampirkan suplemen nomor 5.

Kedudukan Fatwa Kafir

Di sini timbul pertanyaan, apa kedudukan fatwa-fatwa kafir itu? Dan apakah seorang ulama secara pribadi ataupun sebagai wakil dari golongannya memiliki otoritas atau tidak untuk memberi fatwa kafir terhadap seseorang atau golongan lainnya? Dan apa dampak yang akan timbul dari fatwa-fatwa semacam itu terhadap umat Islam secara keseluruhan?

Menurut Jemaat Ahmadiyah, kedudukan fatwa-fatwa semacam itu tidak lebih dari sekedar bahwa menurut sebagian ulama tertentu beberapa akidah adalah bertentangan dengan Islam karena penganut akidah-akidah tersebut kafir pada pandangan Allah, dan di Hari Kiamat mereka tidak akan dibangkitkan di tengah-tengah umat Islam. Dari sudut ini, fatwa-fatwa tersebut di dunia hanya memiliki kedudukan sebagai suatu peringatan. Dan sejauh yang berkaitan dengan urusan-urusan dunia, kepada seseorang atau suatu golongan tidak dapat diberikan hak atau otoritas untuk mengeluarkan [mengeluarkan pihak-pihak tertentu] dari batas-batas Islam yang paling jauh sekalipun. Itu adalah urusan antara Allah dengan manusia. Dan keputusannya hanya dapat berlangsung pada hari pembalasan di Hari Kiamat. Dalam urusan-urusan dunia, keberadaan fatwa-fatwa tersebut dapat terbukti sangat berbahaya bagi kesatuan umat Islam. Dan seseorang atau suatu golongan lainnya tidak dapat dinyatakan keluar dari Islam dengan menggunakan fatwa ulama-ulama dari golongan tertentu sebagai landasan.

Pendirian yang mengatakan bahwa jika segenap golongan sepakat mengenai kekufuran suatu golongan sehingga golongan itu dapat dinyatakan keluar dari Islam, dari segi ini adalah salah dan tidak dapat diterima akal, sebabnya ialah (sebagaimana terbukti dari penelaahan terhadap fatwa-fatwa yang tercantum di dalam suplemen) secara amalan, dalam setiap golongan umat Islam sedikit banyak pasti terdapat akidah-akidah yang mengenainya kebanyakan golongan tersebut menyepakatinya sebagai akidah-akidah yang membuat para penganutnya keluar dari Islam. Dan kondisi demikian menuntut kedatangan seorang hakim adil dari Langit.

Jika pada hari ini berdasarkan beberapa pertentangan ternyata sangat mungkin terjadi kesepakatan segenap golongan lainnya menentang Jemaat Ahmadiyah, maka besokpun mungkin saja akan terjadi seperti itu menentang golongan Syi’ah mengenai beberapa akidah khusus yang mereka anut. Dan hal yang sama juga dapat terjadi pada Ahli Qur’an seperti Chakralwi atau Parwezi. Dan mengenai beberapa akidah Ahli Hadits, Wahabi atau Deobandi juga secara amalan terjadi kesepakatan para ulama dari golongan-golongan lainnya. Jadi, kata mayoritas adalah suatu gambaran yang melampaui batas. Cobalah simak satu golongan secara khusus, maka sebagai lawannya segenap golongan lain akan tampil sebagai kelompok mayoritas. Dan dengan demikian, secara bergiliran, terhadap masing-masing golongan akan berlakulah fatwa kafir dari kelompok mayoritas lainnya.
Menurut kami, fatwa-fatwa itu berpijak pada hal-hal zahir. Dan pada substansinya fatwa-fatwa itu tidak dapat dinyatakan sebagai surat panggilan untuk masuk surga ataupun neraka. Sejauh yang berkaitan dengan hakikat Islam, kami menuliskan definisi Muslim sejati, dalam kata-kata Pendiri Jemaat Ahmadiyah:

“Secara istilah, arti Islam adalah apa yang diisyaratkan oleh ayat suci ini, yakni:

Yakni, Muslim adalah dia yang menyerahkan segenap wujudnya di jalan Allah Ta’ala. Yakni, mewakafkan wujudnya untuk Allah Ta'ala dan untuk mengikuti kehendak-kehendak-Nya, serta untuk meraih keridhaan-Nya. Kemudian dia berdiri teguh di atas perbuatan-perbuatan baik demi Allah Ta’ala. Dan dia mengerahkan segenap kekuatan amaliah wujudnya di jalan Allah. Artinya, secara akidah dan secara amalan, dia telah menjadi milik Allah Ta’ala semata.

Secara akidah adalah demikian, yakni dia memahami segenap wujudnya secara hakikat sebagai sesuatu yang telah diciptakan untuk mengenali Allah Ta’ala, untuk mentaati, dan untuk meraih kecintaan serta keridhaan-Nya. Sedangkan secara amalan adalah demikian, yakni murni demi Allah dia melakukan kebaikan-kebaikan hakiki yang berkaitan dengan segenap kemampuannya dan yang berhubungan dengan segenap karunia anugerah Allah. Namun, dengan penghayatan dan pendalaman sedemikian rupa seolah-olah pada pandangan keitaatannya dia sedang menyaksikan wajah Sang Ma’bud Haqiqi itu….

Sekarang dengan menelaah ayat-ayat tersebut di atas, setiap orang berakal dapat memahami bahwa hakikat Islam baru dapat merasuk ke dalam diri seseorang apabila wujudnya bersama segenap kemampuan batiniah dan zahiriahnya hanya diwakafkan untuk Allah Ta'ala dan untuk jalan-Nya. Dan amanat-amanat yang dia terima dari Allah Ta’ala, dia serahkan kembali kepada Sang Penganugerah Sejati itu. Dan tidak hanya secara akidah saja, melainkan secara amalanpun dia memperlihatkan seluruh bentuk Islamnya serta hakikat sempurna Islam tersebut. Yakni, seorang yang mengaku Islam, membuktikan bahwa tangannya, kaki, kalbu, otak, akalnya, pemahamannya, kemarahannya, rasa kasihnya, kelembutan hatinya, ilmunya, segenap kekuatan rohani dan jasmani yang ia miliki, kehormatannya, hartanya, ketenteraman dan kebahagiaannya, dan apa saja yang ada secara zahir maupun batin mulai dari rambut-rambut di kepalanya hingga ke kuku-kuku di kakinya, bahkan sampai niat-niatnya, partikel-partikel kalbunya, dorongan-dorongan nafsunya, kesemuanya itu telah mengikuti Allah Ta’ala sedemikian rupa sebagaimana anggota-anggota tubuh yang dimiliki seseorang taat mengikuti orang itu. Ringkasnya, hal ini harus terbukti bahwa langkah kebenaran itu telah mencapai suatu derajat di mana apa saja yang dia punyai sudah tidak lagi menjadi miliknya, melainkan telah menjadi milik Allah Ta’ala. Dan segenap bagian tubuh serta kemampuan, telah dikerahkan untuk mengkhidmati Ilahi, seakan-akan semua itu menjadi bagian tubuh Al-Haq .

Dan dengan menelaah ayat-ayat itu, hal inipun tampil dengan jelas dan nyata bahwa mewakafkan hidup di jalan Allah Ta’ala, yang merupakan hakikat Islam, ada dua macam. Pertama, menyatakan hanya Allah Ta’ala itulah Dzat yang disembah, dituju dan dicinta. Serta tidak menyekutukan apapun dalam penyembahan, kecintaan, takut, dan harapan terhadap-Nya. Dan hal-hal yang berkaitan dengan pengkudusan-Nya, pemujian terhadap-Nya, penyembahan-Nya, dan segenap tata-krama penyembahan-Nya, hukum-hukum-Nya, perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, serta hal-hal yang berkaitan dengan keputusan dan taqdir Samawi, kesemuanya itu diterima dengan sepenuh hati. Kemudian sepenuhnya menggali segenap kebenaran suci dan makrifat-makrifat suci yang merupakan sarana untuk mengetahui qudrat-qudrat-Nya yang maha luas, dan yang merupakan perantara untuk mengetahui derajat tinggi pemerintahan dan kerajaan-Nya, serta yang merupakan suatu penuntun kokoh untuk mengenali kemurkaan-kemurkaan dan anugerah-anugerah-Nya.

Jenis kedua mewakafkan hidup di jalan Allah Ta’ala adalah mewakafkan hidup dalam mengkhidmati, bersikap solider sependeritaan, membantu mencarikan jalan, membantu memikul beban, dan benar-benar merasakan kepedihan hamba-hamba-Nya. Menanggung penderitaan untuk memberikan ketenteraman pada orang-orang lain, dan rela merasakan kepedihan atas diri sendiri demi kesejahteraan orang lain.

Dari pernyataan ini diketahui bahwa hakikat Islam sangat mulia. Dan seorang manusia tidak pernah dapat secara hakiki menyandang sebutan mulia sebagai warga Islam selama dia belum menyerahkan kepada Allah seluruh wujudnya bersama segenap kemampuan, keinginan, dan kehendaknya. Dan mencabut diri dari keakuannya (egoisme) serta dari segenap hal yang berkaitan dengan itu, dan menjauhi jalan keakuan tersebut.

Jadi, secara hakiki seseorang itu baru dapat dikatakan Muslim tatkala timbul suatu revolusi besar di dalam kehidupannya yang penuh kelalaian. Kemudian, eksistensi wujud nafs amarah yang dia miliki, beserta segenap dorongannya, serentak punah. Lalu, setelah maut tersebut, di dalam dirinya mulai timbul kehidupan baru sebagai orang yang berbuat kebaikan demi Allah. Dan itu adalah suatu kehidupan suci yang di dalamnya tidak terdapat apapun kecuali ketaatan terhadap Sang Khaliq dan sikap solider terhadap sesama makhluk.

Ketaatan terhadap Sang Khaliq adalah demikian, yakni dia siap untuk menerima kehinaan dan kenistaan demi menzahirkan kehormatan, keperkasaan, serta keesaan-Nya. Dan dia siap menerima ribuan kematian demi menghidupkan Tauhid-Nya. Dan dalam ketaatan terhadap-Nya, satu tangan bisa rela memotong tangan yang lain. Dan dalam kecintaan akan keagungan perintah-perintah-Nya serta dalam kehausan akan keridhaan-Nya, dia membenci dosa sedemikian rupa seakan-akan dosa itu adalah suatu api yang siap melahap, atau bagai racun yang mematikan, atau sebuah halilintar yang dapat menghanguskan, sehingga harus melarikan diri dari dosa itu dengan segenap kemampuannya. Ringkasnya, untuk mengikuti kehendak-Nya, kita harus meninggalkan segenap kehendak jiwa kita. Dan untuk melekat dengan-Nya, terimalah sayatan-sayatan luka yang sangat menyakitkan. Dan untuk memberikan bukti ikatan dengan-Nya, putuskanlah segenap ikatan nafsu.

Dan mengkhidmati makhluk Allah adalah demikian, yakni sekian banyak kebutuhan makhluk, dan sekian banyak faktor serta jalan yang telah diciptakan Sang Pembagi Azali untuk membuat sebagian membutuhkan sebagian lainnya, dalam segenap hal tersebut memberikan manfaat kepada makhluk semata-mata demi Allah dengan solidaritas hakiki dan tanpa maksud tertentu serta dengan solidaritas sejati yang dapat timbul dari dirinya. Dan membantu setiap yang membutuhkan bantuan, melalui kemampuan anugerah Allah. Dan mengerahkan semua kekuatan untuk mengadakan perbaikan dunia dan akhirat bagi [makhluk-makhluk].

Jadi, inilah ketaatan dan pengkhidmatan demi Allah yang sangat mulia, yang bercampur dengan kasih sayang dan kecintaan, serta yang dipenuhi oleh ketulusan dan sikap merendahkan diri. Inilah Islam dan hakikat Islam serta intisari Islam yang diraih setelah memperoleh kematian dari nafs, dorongan alami, nafsu, dan kehendak.” (Ainah Kamalaat-e-Islam, p. 57-62)

0 komentar:

Posting Komentar