Amerika Tak Ubahnya Seperti Sebuah Boneka di Tangan Yahudi

on Senin, 09 Maret 2009

Oleh : H.M. Tahir Ahmad r.t. (Khalifatul Masih ke IV)

Bagian I.

Sebelum saya memulai maslah pokok, ada dua hal yang ingin saya perbaiki. Kadang-kadang topik buku-buku yang telah lama sekali dibaca akan tetap diingat, akan tetapi menyebutkan kembali tahun penerbitannya dan lain-lain yang terkait akan terjadi kekeliruan. Biasanya, setelah menyampaikan khutbah, beberapa saudara Ahmadi memohon kepada saya pembetulannya, dan kadang-kadang saya pun teringat kekeliruan itu sesuai khutbah, yakni, teringat kembali bahwa apa yang telah disampaikan itu seharusnya bukan begitu sebenarnya tapi harus begitu.


Maka berdasarkan penjelasan tadi, ada dua hal yang perlu saya perbaiki, yaitu :

Yang pertama ialah, hal yang sangat penting karena berkaan dengan tahun ilham yang diterima oleh Hazrat Aqdas Masih Mau’ud a.s.

Saya pada waktu itu mengatakan ilham yang berikut ini, yaitu :

Friimeson musallat nehiii kiye jaaengge

Artinya : Freemason tidak akan diberi kekuasaan.

Diterima oleh Hazrat Aqdas Masih Mau’ud a.s. pada tahun 1905.

Yang benar ilham ini diterima beliau pada tahun 1901.

Dan saya pun, berkenaan dengan tahun 1905 ini, mengatakan bahwa buku Protocols of The Elders of Zion Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris, didalamnya diterangkan suatu rencana dominasi Freemason yang memegang peranan penting didalam rencana dominasi kaum Yahudi (Israel).

Yang benar ialah buku tersebut terbit di dalam bahasa Rusia. Jadi, pada waktu itu belum terbit dalam bahasa Inggris. Dari kenyataan ini akan lebih nampak lagi keagungan ilham yang diterima oleh Hazrat aqdas Masih Mau’ud a.s. sehingga akal menjadi terheran-heran dibuatnya, sebab pada saat itu buku tersebut masih berada di dalam bahasa Rusia, sedangkan dunia di luar sana belum mengetahui tentang rencana tersebut. Akan tetapi Allah Ta’ala, empat tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1901, telah memberi tahukan kepada Hazrat Masih Mau’ud a.s. (pendiri Jemaat Ahmadiyah) dengan perantara ilham bahwa di atas dunia ini ada rencana dominasi kaum Yahudi yang di dalamnya Freemason mengambil peranan yang penting.

Namun, Allah Ta’ala memberi jaminan kepada beliau dengan mengatakan :

“Aku berjanji kepadamu bahwa Freemason tidak akan diberi kekuasaan atasmu dan atas jema’atmu".

bersambung

Read more...

Definisi Muslim & Pendirian Jemaat Ahmadiyah

Di seluruh dunia, ini suatu hal yang telah diakui bahwa sebelum menetapkan kategori seseorang atau suatu kelompok, maka terlebih dahulu ditentukan definisi lengkap tentang kategori tersebut, yang akan berfungsi sebagai ukuran. Selama definisi itu tegak, maka akan mudah untuk memutuskan apakah seseorang atau suatu kelompok dapat dimasukkan dalam kategori itu atau tidak. Dari segi ini permohonan kami adalah, sebelum menelaah persoalan ini lebih lanjut, hendaknya ditetapkan suatu definisi maksimal dan minimal yang disepakati, tentang Muslim. Yaitu suatu definisi yang tidak hanya disepakati oleh segenap golongan di kalangan umat Islam, melainkan juga disepakati oleh umat Islam di segala zaman. Dalam kaitan itu adalah penting untuk memperhatikan persoalan-persoalan yang tertera di bawah ini:


A: Apakah dari Kitabullah atau Rasulullah saw. ada suatu definisi tentang Muslim yang tanpa kecuali telah disampaikan pada masa Rasulullah saw. sendiri? Jika ada, apa definisi itu ?
B: Di luar definisi itu – yang telah diuraikan oleh Kitabullah dan Rasulullah saw., dan yang terbukti telah disampaikan pada masa Rasulullah saw. sendiri – apakah dibenarkan atau tidak untuk menetapkan suatu definisi lain pada zaman tertentu ?
C: Selain definisi tersebut di atas, jika ada definisi-definisi lain tentang Muslim yang berasal dari berbagai ulama atau golongan-golongan di berbagai zaman, apa saja definisi-definisi itu? Dan bagaimana kedudukan definisi-definisi itu secara syariat di hadapan definisi yang telah diuraikan pada bagian pertama ?
D: Di zaman Abu Bakar Shiddiq r.a., pada masa terjadi pergolakan kemurtadan, apa-
kah Abu Bakar Shiddiq r.a. ataupun para sahabah Rasulullah saw. telah merasa perlu untuk mengadakan suatu perubahan pada definisi yang sudah ditetapkan di zaman Rasulullah saw. ?
E: Apakah di zaman Nabi saw. atau di zaman Khilafat Rasyidah ada suatu contoh di mana walaupun seseorang itu mengikrarkan Kalimah “Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah” dan mengimani keempat Rukun Islam lainnya – yakni shalat, zakat, puasa dan haji – lalu dia tetap saja telah dinyatakan sebagai non-Muslim ?
F: Jika hal ini diizinkan, yakni seseorang walau mengimani kelima Rukun Islam lalu tetap saja dinyatakan keluar dari Islam karena dia menafsirkan beberapa ayat Qur’an Karim yang tidak dapat diterima para ulama dari golongan-golongan lain, atau dia dinyatakan keluar dari Islam karena dia menganut suatu akidah yang menurut beberapa golongan lain bertentangan dengan Islam, maka adalah penting untuk juga menetapkan penafsiran-penafsiran dan akidah-akidah seperti itu. Supaya, hal-hal itu dimasukkan ke dalam definisi Muslim yang sudah dikukuhkan, yakni selain kelima Rukun Islam, jika di dalam akidah-akidah suatu golongan terdapat hal-hal tersebut maka golongan itu dapat dinyatakan keluar dari Islam.
G: Walau mengimani kelima Rukun Islam, jika pintu untuk mengkafirkan golongan-golongan Muslim tertentu dibukakan, yang disebut pada bagian E, maka memperhatikan hal-hal semacam itu secara logika dan secara adil adalah penting. Yaitu hal-hal yang dengan mempertimbangkannya berbagai ulama secara telak telah menyatakan golongan-golongan lain, di luar golongan mereka, sebagai kafir, murtad, atau keluar dari Islam. Sebagai contoh dipaparkan beberapa hal di bawah ini:

1. Akidah mengenai Al-Qur’an sebagai makhluk atau non-makhluk. (Asyaa’arah -- Hanabalah).
2. Tidak meyakini Rasulullah saw. sebagai manusia, melainkan sebagai cahaya. (Brelwi).
3. Tidak meyakini Rasulullah saw. sebagai cahaya, melainkan sebagai manusia. (Ahli Hadits).
4. Mengimani Rasulullah saw. sebagai sesuatu yang selalu ada (haadhir) dan melihat (naazhir), dan juga sebagai ‘aalimul-ghaib. (Brelwi).
5. Mengimani bahwa meminta pertolongan kepada orang-orang suci yang sudah wafat adalah sah, dan banyak sekali para wali yang telah wafat itu memiliki kekuatan untuk memenuhi permintaan siapapun bila dimohonkan. (Brelwi).
6. Menganut akidah bahwa di dalam Syariat tidak ada yang dapat dipercaya selain Al-Qur’an. Oleh karena itu kita tidak terikat untuk menuruti Sunnah Rasul saw. dan Hadits-hadits Rasul saw., tidak perduli betapapun riwayat-riwayat itu mutawatir dan qawi sampai ke tangan kita. (Chakralwi – Parwezi)
7. Menganut akidah bahwa selain surah-surah yang tertera di dalam 30 juz Al-Qur’an terdapat beberapa surah yang di dalamnya disebutkan tentang Ali r.a., tetapi surah-surah itu sudah dibuang. Dengan demikian Al-Qur’an yang telah turun kepada Rasulullah saw. itu tidak sampai kepada kita dalam bentuk yang lengkap. (Ghali Syi’ah).
8. Menganut akidah bahwa di tempat-tempat pertemuan, selain shalat lima waktu, dibenarkan untuk bermunajat di hadapan foto tokoh suci tertentu. Dan bukannya menujukan kepada Tuhan, melainkan dengan menujukan kepada foto tokoh suci itu adalah dibenarkan untuk memanjatkan doa. Dan doa ini adalah pengganti shalat. (Firqah Ismaili).
9. Menganut akidah bahwa selain lima wujud suci dan enam sahabah lainnya, segenap sahabat Rasulullah saw. – termasuk tiga tokoh Khulafa Rasyidin, Abu Bakar r.a., Umar r.a., dan Usman r.a. – telah menyimpang dari Islam dan, na’udzubillaah, mereka berstatus munafik. Kemudian berakidah bahwa ketiga khalifah pertama, na’udzubillaah, merampas kedudukan secara paksa. Oleh karena itu mengutuk dan mencerca mereka tidak hanya dibenarkan, melainkan suatu keharusan. (Syi’ah).
10. Menganut akidah mengenai tokoh suci tertentu bahwa Tuhan secara sementara atau permanen telah merasuk di dalam dirinya. (Firqah Hululi).

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas adalah penting, sebab dari kesaksian-kesaksian yang telak dan kuat, telah terbukti bahwa mengenai setiap akidah dari yang dipaparkan itu, para ulama dan mujtahidin dari berbagai golongan umat Islam telah mengeluarkan fatwa tegas bahwa penganut akidah semacam itu adalah keluar dari Islam walaupun mereka mengimani unsur-unsur penting lainnya dalam agama. Dan orang yang meragukan kekufuran merekapun tidak disangsikan lagi akan dinyatakan keluar dari Islam. Beberapa fatwa mengenai hal itu, silahkan simak suplemen no. 4.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, kami dengan sangat tegas menyerukan, jika pada hakikatnya yang dimaksud adalah menelaah kedudukan Jemaat Ahmadiyah dalam Islam dengan mempertimbangkan tuntutan-tuntutan akal dan keadilan, atau yang dimaksud adalah mengambil ketetapan tentang seseorang atau suatu golongan dalam Islam yang menganut penafsiran tertentu mengenai ayat Khaataman Nabiyyiin, maka tetapkanlah suatu standar ukuran sedemikian rupa yang dengan itu kekufuran setiap pihak yang menganut akidah bertentangan dengan Islam akan dapat ditemukan. Dan dalam bentuk apapun tidak ada hal yang memberatkan Jemaat Ahmadiyah dalam standar ukuran tersebut.

Mengenai segenap persoalan tersebut di atas, ringkasan pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah sebagai berikut.

Pertama, menurut Jemaat Ahmadiyah, definisi Muslim satu-satunya yang dapat diterima dan patut diterapkan hanyalah definisi yang secara jelas terbukti berasal dari Rasulullah saw., dan yang secara jelas diriwayatkan dari Rasulullah saw., dan terbukti diterapkan pada zaman Rasulullah saw. dan Khulafa Rasyidin. Tetapi dengan bergeser dari prinsip ini, apapun upaya yang dilakukan untuk mendefinisikan Muslim, hal itu tidak akan kosong dari kekurangan-kekurangan dan keburukan. Khususnya segenap definisi yang ditetapkan pada zaman-zaman belakangan (ketika Islam telah terpecah-pecah menjadi 72 golongan), juga sangat pantas untuk ditolak karena definisi-definisi itu satu sama lain saling bertentangan, dan tidak mungkin dalam satu waktu yang sama kesemua definisi itu dapat diterima. Dan tidak mungkin pula untuk mengambil satu definisi manapun, sebab dengan demikian maka seseorang itu akan dinyatakan non-Muslim berdasarkan definisi-definisi lainnya. Dan tetap tidak akan mungkin dapat keluar dari rawa lumpur ini dalam bentuk apapun. Hakim Muhammad Munir, pada waktu pemeriksaan tahun 1953, ketika memintakan kepada berbagai ulama untuk memberikan penjelasan mengenai definisi Muslim, maka disesalkan bahwa tidak ada dua orang ulamapun yang dapat sepakat mengenai satu definisi manapun. Mengenai hal itu, dengan mengungkapkan penyesalan beliau, Hakim Munir mengatakan:

“Dengan memperhatikan berbagai definisi yang telah dilakukan oleh para ulama, tidaklah perlu bagi kami untuk memberikan komentar apapun, kecuali bahwa, tidak ada dua orang ulamapun yang sepakat atas masalah dasar ini. Jika kami juga seperti seorang ulama memberikan satu definisi dari pihak kami, dan definisi itu berbeda dari segenap definisi lainnya, maka kami dengan sendirinya akan menjadi keluar dari Islam. Dan jika kami memakai definisi yang dilakukan oleh salah seorang dari antara ulama-ulama itu, maka kami memang akan tetap sebagai Muslim pada pandangan ulama tersebut, tetapi akan menjadi kafir berdasarkan setiap definisi lainnya.” (Report of The Court of Inquiry Constituted Under Punjab Act II of 1954 to Enquire into the Punjab Disturbances of 1953, h.218).

Dari kesimpulan yang dicapai oleh Hakim Munir itu hal ini secara tegas terbukti bahwa mengenai definisi Muslim, sampai pada penyusunan laporan (Report) itupun tidak pernah terjadi ijma’ yang darinya didapat suatu kesepakatan para shalihin terdahulu. Oleh karena itu, jika pada masa sekarang ini dipaparkan suatu definisi yang secara zahir tampaknya disepakati, maka definisi itu sama-sekali tidak dapat dinyatakan sebagai definisi hasil ijma’ umat, dan darinya tidak diperoleh kesepakatan para shalihin terdahulu.

Jadi, pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah, mengambil definisi yang mengandung hukum dan bersifat pokok tentang Muslim, yang telah disabdakan dari lidah Yang Mulia Khaatamul Anbiyaa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Definisi ini merupakan suatu piagam mulia bagi negara Islam. Untuk itu kami memaparkan tiga buah Hadits Nabi saw..

(1) Jibril a.s. dalam bentuk manusia datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya kepada beliau:

Artinya: “’Hai Muhammad! Beritahukanlah kepadaku tentang Islam.’ Rasulullah saw. bersabda: ‘Islam, ialah hendaknya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, mendirikan shalat, memberikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan beribadah haji di Baitullah jika engkau mampu menempuh di jalannya.’ Orang itu berkata: ‘Engkau benar!’ Perawi mengatakan: ‘Kami merasa heran kepada orang itu. Dia bertanya dan sekaligus membenarkannya.’ Kembali orang itu berkata: ‘Beritahukanlah kepadaku tentang Iman’. Rasulullah saw. bersabda: ’Hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta beriman kepada takdir, baik dan buruknya takdir.’ Orang itu berkata: ‘Engkau benar.’” (Shahih Muslim, Kitabul Iman)

(2)

Artinya: “Seorang laki-laki penduduk Najd datang kepada Rasulullah saw., tidak teratur rambut kepalanya. Kami mendengar suaranya tetapi tidak memahami apa yang dikatakannya sampai dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Rasulullah saw. bersabda: ‘Shalat lima kali dalam sehari semalam.’ Lalu dia berkata, 'Apakah ada kewajiban lain atasku ?' Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal! Rasulullah saw. bersabda: ‘Dan puasa Ramadhan.’ Ia bertanya: 'Apakah ada kewajiban lainnya atasku ?' Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal.’ Dan Rasulullah menuturkan kepadanya tentang zakat. Ia bertanya: ‘Apakah ada kewajiban lainnya atasku ?’ Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal.’ Lalu laki-laki itu berpaling seraya berkata: ‘Demi Allah, saya tidak menambah atas ini dan tidak pula menguranginya.’ Rasulullah saw. bersabda: ‘Berbahagialah dia, jika dia terbukti benar dalam ucapanya.” (Shahih Bukhari, Kitabul Iman, Bab Az-Zakatu minal Islam).



(3) {


Artinya: “Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, berkiblat pada kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah orang Muslim yang mempunyai jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu mengecoh Allah dalam hal jaminan-Nya. (Shahih Bukhari, Kitabul Shalat, Bab Fadhlistiqbaalil Qiblah).

Merupakan suatu ihsan agung Junjungan Suci kita saw. bahwa melalui definisi tersebut Rasulullah saw. dalam kata-kata yang sangat lengkap telah meletakkan fondasi antara bangsa-bangsa di dalam kesatuan dunia Islam. Dan merupakan kewajiban setiap pemerintahan Islam untuk mengakui fondasi/prinsip ini dalam pandangan mereka dengan sangat jelas. Jika tidak, maka tatanan umat Islam senantiasa akan hancur, dan pintu-pintu kekacauan tidak akan pernah dapat ditutup.
Setelah kurun pertama, selama 14 abad silam, apapun fatwa kufur yang telah dikeluarkan oleh berbagai ulama di berbagai zaman yang didasarkan pada definisi rancangan mereka sendiri, telah menimbulkan bentuk yang begitu mengerikan sehingga tidak ada tokoh suci agama, ulama-ulama, para sufi dan waliullah dari abad manapun yang keislamannya dapat bertahan selamat berdasarkan definisi-definisi tersebut. Dan tidak ada satu golonganpun dapat dikemukakan yang status kekufurannya tidak dinyatakan oleh sebagian golongan lainnya. Dalam kaitan ini dilampirkan suplemen nomor 5.

Kedudukan Fatwa Kafir

Di sini timbul pertanyaan, apa kedudukan fatwa-fatwa kafir itu? Dan apakah seorang ulama secara pribadi ataupun sebagai wakil dari golongannya memiliki otoritas atau tidak untuk memberi fatwa kafir terhadap seseorang atau golongan lainnya? Dan apa dampak yang akan timbul dari fatwa-fatwa semacam itu terhadap umat Islam secara keseluruhan?

Menurut Jemaat Ahmadiyah, kedudukan fatwa-fatwa semacam itu tidak lebih dari sekedar bahwa menurut sebagian ulama tertentu beberapa akidah adalah bertentangan dengan Islam karena penganut akidah-akidah tersebut kafir pada pandangan Allah, dan di Hari Kiamat mereka tidak akan dibangkitkan di tengah-tengah umat Islam. Dari sudut ini, fatwa-fatwa tersebut di dunia hanya memiliki kedudukan sebagai suatu peringatan. Dan sejauh yang berkaitan dengan urusan-urusan dunia, kepada seseorang atau suatu golongan tidak dapat diberikan hak atau otoritas untuk mengeluarkan [mengeluarkan pihak-pihak tertentu] dari batas-batas Islam yang paling jauh sekalipun. Itu adalah urusan antara Allah dengan manusia. Dan keputusannya hanya dapat berlangsung pada hari pembalasan di Hari Kiamat. Dalam urusan-urusan dunia, keberadaan fatwa-fatwa tersebut dapat terbukti sangat berbahaya bagi kesatuan umat Islam. Dan seseorang atau suatu golongan lainnya tidak dapat dinyatakan keluar dari Islam dengan menggunakan fatwa ulama-ulama dari golongan tertentu sebagai landasan.

Pendirian yang mengatakan bahwa jika segenap golongan sepakat mengenai kekufuran suatu golongan sehingga golongan itu dapat dinyatakan keluar dari Islam, dari segi ini adalah salah dan tidak dapat diterima akal, sebabnya ialah (sebagaimana terbukti dari penelaahan terhadap fatwa-fatwa yang tercantum di dalam suplemen) secara amalan, dalam setiap golongan umat Islam sedikit banyak pasti terdapat akidah-akidah yang mengenainya kebanyakan golongan tersebut menyepakatinya sebagai akidah-akidah yang membuat para penganutnya keluar dari Islam. Dan kondisi demikian menuntut kedatangan seorang hakim adil dari Langit.

Jika pada hari ini berdasarkan beberapa pertentangan ternyata sangat mungkin terjadi kesepakatan segenap golongan lainnya menentang Jemaat Ahmadiyah, maka besokpun mungkin saja akan terjadi seperti itu menentang golongan Syi’ah mengenai beberapa akidah khusus yang mereka anut. Dan hal yang sama juga dapat terjadi pada Ahli Qur’an seperti Chakralwi atau Parwezi. Dan mengenai beberapa akidah Ahli Hadits, Wahabi atau Deobandi juga secara amalan terjadi kesepakatan para ulama dari golongan-golongan lainnya. Jadi, kata mayoritas adalah suatu gambaran yang melampaui batas. Cobalah simak satu golongan secara khusus, maka sebagai lawannya segenap golongan lain akan tampil sebagai kelompok mayoritas. Dan dengan demikian, secara bergiliran, terhadap masing-masing golongan akan berlakulah fatwa kafir dari kelompok mayoritas lainnya.
Menurut kami, fatwa-fatwa itu berpijak pada hal-hal zahir. Dan pada substansinya fatwa-fatwa itu tidak dapat dinyatakan sebagai surat panggilan untuk masuk surga ataupun neraka. Sejauh yang berkaitan dengan hakikat Islam, kami menuliskan definisi Muslim sejati, dalam kata-kata Pendiri Jemaat Ahmadiyah:

“Secara istilah, arti Islam adalah apa yang diisyaratkan oleh ayat suci ini, yakni:

Yakni, Muslim adalah dia yang menyerahkan segenap wujudnya di jalan Allah Ta’ala. Yakni, mewakafkan wujudnya untuk Allah Ta'ala dan untuk mengikuti kehendak-kehendak-Nya, serta untuk meraih keridhaan-Nya. Kemudian dia berdiri teguh di atas perbuatan-perbuatan baik demi Allah Ta’ala. Dan dia mengerahkan segenap kekuatan amaliah wujudnya di jalan Allah. Artinya, secara akidah dan secara amalan, dia telah menjadi milik Allah Ta’ala semata.

Secara akidah adalah demikian, yakni dia memahami segenap wujudnya secara hakikat sebagai sesuatu yang telah diciptakan untuk mengenali Allah Ta’ala, untuk mentaati, dan untuk meraih kecintaan serta keridhaan-Nya. Sedangkan secara amalan adalah demikian, yakni murni demi Allah dia melakukan kebaikan-kebaikan hakiki yang berkaitan dengan segenap kemampuannya dan yang berhubungan dengan segenap karunia anugerah Allah. Namun, dengan penghayatan dan pendalaman sedemikian rupa seolah-olah pada pandangan keitaatannya dia sedang menyaksikan wajah Sang Ma’bud Haqiqi itu….

Sekarang dengan menelaah ayat-ayat tersebut di atas, setiap orang berakal dapat memahami bahwa hakikat Islam baru dapat merasuk ke dalam diri seseorang apabila wujudnya bersama segenap kemampuan batiniah dan zahiriahnya hanya diwakafkan untuk Allah Ta'ala dan untuk jalan-Nya. Dan amanat-amanat yang dia terima dari Allah Ta’ala, dia serahkan kembali kepada Sang Penganugerah Sejati itu. Dan tidak hanya secara akidah saja, melainkan secara amalanpun dia memperlihatkan seluruh bentuk Islamnya serta hakikat sempurna Islam tersebut. Yakni, seorang yang mengaku Islam, membuktikan bahwa tangannya, kaki, kalbu, otak, akalnya, pemahamannya, kemarahannya, rasa kasihnya, kelembutan hatinya, ilmunya, segenap kekuatan rohani dan jasmani yang ia miliki, kehormatannya, hartanya, ketenteraman dan kebahagiaannya, dan apa saja yang ada secara zahir maupun batin mulai dari rambut-rambut di kepalanya hingga ke kuku-kuku di kakinya, bahkan sampai niat-niatnya, partikel-partikel kalbunya, dorongan-dorongan nafsunya, kesemuanya itu telah mengikuti Allah Ta’ala sedemikian rupa sebagaimana anggota-anggota tubuh yang dimiliki seseorang taat mengikuti orang itu. Ringkasnya, hal ini harus terbukti bahwa langkah kebenaran itu telah mencapai suatu derajat di mana apa saja yang dia punyai sudah tidak lagi menjadi miliknya, melainkan telah menjadi milik Allah Ta’ala. Dan segenap bagian tubuh serta kemampuan, telah dikerahkan untuk mengkhidmati Ilahi, seakan-akan semua itu menjadi bagian tubuh Al-Haq .

Dan dengan menelaah ayat-ayat itu, hal inipun tampil dengan jelas dan nyata bahwa mewakafkan hidup di jalan Allah Ta’ala, yang merupakan hakikat Islam, ada dua macam. Pertama, menyatakan hanya Allah Ta’ala itulah Dzat yang disembah, dituju dan dicinta. Serta tidak menyekutukan apapun dalam penyembahan, kecintaan, takut, dan harapan terhadap-Nya. Dan hal-hal yang berkaitan dengan pengkudusan-Nya, pemujian terhadap-Nya, penyembahan-Nya, dan segenap tata-krama penyembahan-Nya, hukum-hukum-Nya, perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, serta hal-hal yang berkaitan dengan keputusan dan taqdir Samawi, kesemuanya itu diterima dengan sepenuh hati. Kemudian sepenuhnya menggali segenap kebenaran suci dan makrifat-makrifat suci yang merupakan sarana untuk mengetahui qudrat-qudrat-Nya yang maha luas, dan yang merupakan perantara untuk mengetahui derajat tinggi pemerintahan dan kerajaan-Nya, serta yang merupakan suatu penuntun kokoh untuk mengenali kemurkaan-kemurkaan dan anugerah-anugerah-Nya.

Jenis kedua mewakafkan hidup di jalan Allah Ta’ala adalah mewakafkan hidup dalam mengkhidmati, bersikap solider sependeritaan, membantu mencarikan jalan, membantu memikul beban, dan benar-benar merasakan kepedihan hamba-hamba-Nya. Menanggung penderitaan untuk memberikan ketenteraman pada orang-orang lain, dan rela merasakan kepedihan atas diri sendiri demi kesejahteraan orang lain.

Dari pernyataan ini diketahui bahwa hakikat Islam sangat mulia. Dan seorang manusia tidak pernah dapat secara hakiki menyandang sebutan mulia sebagai warga Islam selama dia belum menyerahkan kepada Allah seluruh wujudnya bersama segenap kemampuan, keinginan, dan kehendaknya. Dan mencabut diri dari keakuannya (egoisme) serta dari segenap hal yang berkaitan dengan itu, dan menjauhi jalan keakuan tersebut.

Jadi, secara hakiki seseorang itu baru dapat dikatakan Muslim tatkala timbul suatu revolusi besar di dalam kehidupannya yang penuh kelalaian. Kemudian, eksistensi wujud nafs amarah yang dia miliki, beserta segenap dorongannya, serentak punah. Lalu, setelah maut tersebut, di dalam dirinya mulai timbul kehidupan baru sebagai orang yang berbuat kebaikan demi Allah. Dan itu adalah suatu kehidupan suci yang di dalamnya tidak terdapat apapun kecuali ketaatan terhadap Sang Khaliq dan sikap solider terhadap sesama makhluk.

Ketaatan terhadap Sang Khaliq adalah demikian, yakni dia siap untuk menerima kehinaan dan kenistaan demi menzahirkan kehormatan, keperkasaan, serta keesaan-Nya. Dan dia siap menerima ribuan kematian demi menghidupkan Tauhid-Nya. Dan dalam ketaatan terhadap-Nya, satu tangan bisa rela memotong tangan yang lain. Dan dalam kecintaan akan keagungan perintah-perintah-Nya serta dalam kehausan akan keridhaan-Nya, dia membenci dosa sedemikian rupa seakan-akan dosa itu adalah suatu api yang siap melahap, atau bagai racun yang mematikan, atau sebuah halilintar yang dapat menghanguskan, sehingga harus melarikan diri dari dosa itu dengan segenap kemampuannya. Ringkasnya, untuk mengikuti kehendak-Nya, kita harus meninggalkan segenap kehendak jiwa kita. Dan untuk melekat dengan-Nya, terimalah sayatan-sayatan luka yang sangat menyakitkan. Dan untuk memberikan bukti ikatan dengan-Nya, putuskanlah segenap ikatan nafsu.

Dan mengkhidmati makhluk Allah adalah demikian, yakni sekian banyak kebutuhan makhluk, dan sekian banyak faktor serta jalan yang telah diciptakan Sang Pembagi Azali untuk membuat sebagian membutuhkan sebagian lainnya, dalam segenap hal tersebut memberikan manfaat kepada makhluk semata-mata demi Allah dengan solidaritas hakiki dan tanpa maksud tertentu serta dengan solidaritas sejati yang dapat timbul dari dirinya. Dan membantu setiap yang membutuhkan bantuan, melalui kemampuan anugerah Allah. Dan mengerahkan semua kekuatan untuk mengadakan perbaikan dunia dan akhirat bagi [makhluk-makhluk].

Jadi, inilah ketaatan dan pengkhidmatan demi Allah yang sangat mulia, yang bercampur dengan kasih sayang dan kecintaan, serta yang dipenuhi oleh ketulusan dan sikap merendahkan diri. Inilah Islam dan hakikat Islam serta intisari Islam yang diraih setelah memperoleh kematian dari nafs, dorongan alami, nafsu, dan kehendak.” (Ainah Kamalaat-e-Islam, p. 57-62)

Read more...

Kedudukan Khaataman Nabiyyiin saw. Dan Tulisan-tulisan Penuh Makrifat Dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah

Tanggapan Terhadap Tuduhan Mengingkari Khatamun Nubuwwat

“Inti dan saripati akidah saya adalah: Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rasuulullah. Kepercayaan yang saya anut dalam kehidupan di dunia ini, dan -- atas karunia serta taufik Allah Ta'ala -- dengannya saya akan meninggalkan alam tempat berlalu ini, ialah, bahwa Sayyidina wa Maulana Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Khaataman Nabiyyiin dan Khairul Mursaliin. Melalui tangan beliaulah agama telah sempurna, dan nikmat/anugerah telah mencapai derajat paling lengkap, yang dengan perantaraan itu manusia menempuh jalan lurus lalu dapat mencapai Allah Ta'ala.” (Izalah Auham)

Tuduhan ini jelas-jelas keliru dan merupakan kedustaan. Yakni, na’udzubillaah, Jemaat Ahmadiyah mengingkari ayat Khaataman-nabiyyiin dan tidak mengakui Nabi Muhammad Mushthafa Khatamul Anbiya saw. sebagai Khaataman Nabiyyiin. Sungguh aneh, tuduhan ini dilontarkaan terhadap suatu Jemaat di antara seluruh golongan umat Islam, yang secara teguh meyakini bahwa jangankan satu ayat Al-Qur’an Suci, satu noktah atau satu titikpun tidak ada yang mansukh. Padahal sebaliknya, menurut para ulama dari golongan-golongan lain, sebagian ayat Al-Qur’an telah dimansukhkan melalui sebagian ayat lainnya, dan sekarang ayat-ayat itu bagaikan usus buntu dalam tubuh manusia. Jadi, bukankah ini suatu hal yang aneh ? Yakni golongan-golongan yang mempercayai bahwa di dalam Al-Qur’an Karim terdapat 5 hingga 500 ayat telah dimansukhkan, melontarkan tuduhan mengingkari satu ayat Al-Qur’an Karim terhadap sebuah golongan yang memiliki akidah bahwa jangankan satu ayat, satu noktahpun tidak ada yang mansukh.

Apalagi namanya kalau bukan keaniayaan dan kezaliman ? Di satu sisi Jemaat Ahmadiyah bersiteguh menyatakan bahwa begitulah akidah kami dan itulah yang berkali-kali ditekankan pendiri Jemaat Ahmadiyah kepada kami. Yakni, Al-Qur’an adalah kitab Allah yang terakhir dan sempurna; Muhammad Mushthafa saw. adalah rasul-Nya yang terakhir dan paling sempurna, serta merupakan Khaatamun Nabiyyiin. Di sisi lain, para ulama penentang, memberikan jawaban pada kami, “Walaupun kalian mengatakan demikian, dalam makna tertentu kalian tetap masih menganggap ada kemungkinan bagi kedatangan nabi. Oleh sebab itu kalian mengingkari makna ayat suci tersebut! Jadi, secara nyata kalian terhitung mengingkari ayat itu.”

Inilah alasan terbesar para penentang Jemaat, yang dengan kekuatannya mereka bangkit membawa tekad untuk mengeluarkan Jemaat Ahmadiyah dari Islam. Mari kita simak hakikat tuduhan ini dengan hati yang sejuk. Dan dengan tenang serta adil, kita simpulkan bahwa para penuduh itu jauh dari kebenaran. Jangan-jangan tuduhan itu berlaku pada diri mereka sendiri, dan mereka bakal terkena sangsi karena menuduh pihak lain mengingkari ayat tersebut.

Pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah, kami mengimani seluruh makna ayat Khaataman-nabiyyiin yang bersesuaian dengan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ orang-orang shaleh terdahulu, ungkapan-ungkapan dan bahasa Arab. Kami mengimani makna harfiah ayat ini, dan juga mengimani makna-makna hakikinya, yang intinya, Rasulullah saw. adalah paling sempurna dari seluruh nabi; stempel para nabi; dan merupakan perhiasan para nabi. Seluruh potensi nubuwwat telah berakhir pada beliau. Kunci setiap fadhilah/keunggulan telah diserahkan ke tangan beliau. Syariat beliau -- yakni Al-Qur’an dan Sunnah -- akan terus berlaku hingga kiamat, dan meliputi seluruh penjuru dunia. Setiap manusia berkewajiban untuk mempercayainya. Tidak ada seorangpun yang dapat memansukhkan Syariat ini barang setitikpun. Jadi, beliau adalah Rasul pembawa syariat terakhir dan Imam terakhir yang wajib ditaati. Beliau adalah penutup sekalian nabi, secara jasmani maupun secara rohani. Tidak ada seorang nabi yang dapat terlepas dari lingkup ke-khatam-an beliau, dari sisi manapun. Setelah kedatangan beliau, tidak mungkin ada nabi terdahulu yang secara jasmani tetap hidup di dalam era beliau. Tidak mungkin, beliau telah berlalu dari dunia ini, kemudian ada nabi terdahulu lainnya yang masih hidup secara jasmani. Na’udzubillaah, nabi tersebut wafat setelah menyaksikan ke-khatam-an beliau secara jasmani.

Dalam makna-makna hakikipun beliau saw. merupakan penutup sekalian nabi. Tidak mungkin karunia nabi terdahulu masih berkelanjutan setelah kedatangan beliau, dan mampu menganugerahkan suatu kedudukan rohani yang terendah sekalipun kepada seseorang manusia. Beliau merupakan penutup bagi karunia-karunia segenap nabi lainnya. Namun, karunia-karunia beliau saw. tetap berlangsung hingga Kiamat. Segenap karunia dan anugerah rohani yang dahulu senantiasa diraih oleh umat manusia dengan cara mengikuti nabi-nabi sebelumnya, lebih besar dari itu akan dianugerahkan kepada umat manusia hingga hari Kiamat melalui beliau dan melalui khazanah beliau. Ringkasnya, kami mengakui Rasulullah saw. sebagai Khaataman Nabiyyiin dalam makna harfiah maupun hakiki. Dan kami secara hormat berani memaparkan kenyataan yang pahit ini, bahwa selain para pengingkar hadits, para ulama dari segenap golongan penentang kami, tidak mengakui Rasulullah saw. sebagai Khaataman Nabiyyiin dalam makna-makna tersebut. Walaupun mereka mengatakan Rasulullah saw. sebagai penutup sekalian nabi, mereka menganut kepercayaan yang berlawanan. Yakni, na'udzubillaah, Rasulullah saw. tidak mampu menjadi penutup bagi Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., secara jasmani maupun secara rohani. Ketika beliau saw. datang, hanya ada satu nabi lain yang masih hidup secara jasmani. Namun, disayangkan, dia tidak berakhir di masa hidup beliau saw.. Beliau telah wafat, tetapi dia masih tetap hidup. Rasulullah saw. telah berlalu 1400 tahun silam, tetapi Nabi Israili ini masih tetap hidup sampai sekarang. Cobalah bersikap adil sedikit. Dari segi makna-makna jasmani kata khaatam/penutup, menurut orang-orang yang percaya Almasih a.s. masih hidup, siapa yang telah menjadi penutup antara keduanya ?

Kemudian para ulama ini secara amalan juga mengakui Almasih a.s. sebagai khaatam dari segi rohani. Sebab, mereka percaya bahwa Rasulullah saw. tidak mampu menutup karunia Almasih. Karunia nabi-nabi lain telah habis sejak sebelumnya, dan segenap jalan keselamatan lain telah tertutup. Almasih sendiri yang masih hidup. Namun disayangkan, jalan bagi karunia Almasih tidak dapat ditutup. Tidak hanya itu, kekuatan karunianya telah menjadi sangat besar dibandingkan sebelumnya. Walaupun ada kekuatan suci Rasulullah saw. yang sangat agung, umat Islam tetap terkena penyakit-penyakit rohani yang berbahaya. Umat ini dikepung oleh berbagai macam penyakit rohani. Kekuatan suci Rasulullah saw. secara langsung tidak mampu menyelamatkan ini. Ya, seorang rasul Bani Israil, melalui semburan napas ke-masih-annya, dapat menyelamatkan umat ini dari cengkeraman maut serta menganugerahkan suatu kehidupan rohani baru. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Apakah dari itu tidak terbukti dengan jelas bahwa orang-orang yang percaya Almasih masih hidup, tidak menganggap Rasulullah saw. sebagai penutup sekalian nabi, dari segi karunia ? Bahkan mereka yakin pada saat ini hanya ada satu orang nabi yang masih hidup, dan Rasulullah saw. tidak mampu menutup karunia nabi itu. Bahkan, na'udzubillaah, Nabi Israili itu telah wafat ketika umat Islam sangat berhutang budi kepadanya.
Perhatikanlah! Tidakkah Nabi Isa a.s. dianggap sebagai khaataman nabiyyiin dalam makna jasmani maupun rohani ? Tidakkah hal ini jelas-jelas menghina Rasulullah saw ? Tidakkah hal ini menghancurkan ruh ayat Khaataman-nabiyyiin ? Dan tetap saja dinyatakan bahwa orang Ahmadi mengingkari Khaataman Nabiyyiin, sedangkan mereka mempercayai Khaataman Nabiyyiin, bahkan melindunginya. Apakah keadilan benar-benar telah hilang dari dunia ? Apakah segenap pertimbangan akal sehat akan diabaikan ? Apakah keputusan ini tidak akan ditimbang secara adil, melainkan kebenaran dan kebatilan serta keselamatan ukhrowi akan diputuskan hanya berdasarkan kekuatan mayoritas ? Semoga Allah tidak menjadikannya demikian. Semoga Allah benar-benar tidak menjadikannya demikian. Namun, jika terjadi seperti itu, mengapa yang digembar-gemborkan adalah takwa Ilahi. Kenapa hal itu tidak disebut saja hukum rimba ? Dan kenapa untuk ketidakadilan ini digunakan nama suci Allah dan Rasul ? Apapun nama baik yang diberikan untuk suatu kehancuran, tetap saja ia merupakan kehancuran.

Kepada kami dikatakan, "Kalian sepenuhnya tidak mengakui Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir. Dan dengan cara penafsiran, kalian membuka jalan bagi kedatangan seorang nabi ummati dan zilli. Sehingga dengan itu kalian telah melanggar Khatamun Nubuwwat."

Kami mengakui bahwa munculnya nabi ummati seperti itu dalam umat Islam -- yang merupakan hamba kamil Rasulullah saw. dan sepenuhnya meraih karunia dari beliau saw. -- sama sekali tidaklah menentang makna ayat Khaataman-nabiyyiin. Sebab, hamba yang fana dan kamil, tidak dapat dipisahkan dari majikannya. Kami bertanggung jawab untuk membuktikan pendirian kami ini dari Al-Qur’an Hakim, sabda-sabda Nabi Muhammad saw., ucapan-ucapan para pemuka umat, dan dari ungkapan-ungkapan bahasa Arab. Dalam kaitan itu, pada halaman-halaman berikut ini akan dipaparkan suatu hasil pembahasan. Namun sebelumnya, kami akan meninjau orang-orang yang melontarkan tuduhan kepada kami sebagai penghancur segel/stempel kenabian. Yakni, bagaimana kedudukan akidah mereka. Mereka secara zahir menda’wakan bahwa mereka -- secara mutlak, tanpa syarat, tanpa pengecualian dan dalam setiap makna -- mengakui Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir. Dan sesudah beliau, mereka tidak mengakui kedatangan nabi jenis apapun. Namun, jika dipertanyakan kepada mereka, maka terpaksa mereka mengatakan, “…kecuali Nabi Isa a.s. yang suatu hari nanti pasti akan turun di tengah umat ini.”

Apabila anda mempersoalkannya kepada mereka -- yakni, “Kalian telah mengatakan bahwa Rasulullah saw. secara mutlak, tanpa pengecualian, adalah nabi terakhir, dalam makna bahwa sesudah beliau tidak akan datang nabi jenis apapun; bagaimana pula kalian telah memperoleh hak untuk menimbulkan pengecualian ?” Maka sebagai jawabannya mereka paparkan penakwilan yang sangat tidak bermakna. Yakni, “Dikarenakan Nabi Isa adalah seorang nabi terdahulu, oleh sebab itu kedatangannya yang kedua kali, tidak akan memecahkan segel/stempel Khatamun Nubuwwat.” Apabila dipertanyakan kepada mereka, apakah beliau akan datang membawa syariat Musa ? Maka mereka mengatakan tidak, melainkan beliau akan datang tanpa syariat. Kemudian apabila ditanyakan, “Dalam bentuk demikian, apa jadinya tugas perintah dan larangan bagi beliau ? Hal-hal apa yang akan beliau nasihatkan, dan hal-hal apa yang akan beliau larang ?” Maka mereka mengatakan, pertama-tama beliau akan menjadi anggota umat Islam, kemudian mengikuti Syariat Islam, lalu menjadi nabi. Lebih lanjut mereka tidak mampu menjawab berbagai macam pertanyaan. Yakni, apakah ulama-ulama yang akan mengajarkan Syariat Islam kepada Almasih ? Atau, kepada beliau akan diberikan pengetahuan tentang Al-Qur’an, Hadits, dan Sunnah melalui wahyu dari Allah Ta'ala secara langsung ? Namun, dari pemeriksaan ini terbukti dengan telak bahwa mereka sendiri tidak mempercayai Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir secara penuh. Bahkan mereka memberikan pengecualian bahwa sesudah Rasulullah saw. dapat saja datang seorang nabi lama, yang bukan pembawa syariat, ummati, mengikuti Syariat Islam kata demi kata, dan mengajarkannya, tanpa memecahkan segel kenabian.

Kami berhak menanyakan kepada orang berakal, bijak, dan adil. Apakah bagi penganut akidah semacam itu, dari sisi logika maupun keadilan, dapat dibenarkan untuk mengatakan bahwa sesudah Rasulullah saw. tidak akan dapat lagi datang nabi jenis apapun ?

Permasalahan yang sebenarnya adalah, berdasarkan sabda-sabda Sang Khaataman Nabiyyiin saw., kami dan orang-orang selain kami serta segenap pihak yang mengakui hadits, terpaksa menganut akidah bahwa “Isa Nabiullah” memang akan turun di kalangan umat ini ?

Kami, berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan Hadis yang jelas, mengetahui pula bahwa Isa Ibnu Maryam telah wafat. Oleh sebab itu sabda tersebut di atas kami artikan sebagai berikut. Yakni “Isa Nabiullah” yang bakal datang itu, akan lahir di kalangan hamba-hamba Rasulullah saw. dalam umat Islam ini juga. Dan dari Al-Qur’an, Hadits, serta ucapan-ucapan para tokoh Agama Islam, kami membuktikan bahwa tokoh yang dijanjikan bakal datang itu, juga akan berkedudukan sebagai nabi Allah, serta sebagai ummati Rasulullah saw.. Dan akidah ini sama sekali tidak bertentangan dengan ke-khatam-an Nabi Muhammad saw..

Namun, para ulama lain berusaha menenteramkan hati mereka dengan penakwilan berikut. Yakni, jika nabi terdahulu itu datang kembali -- dikarenakan dia telah lahir terlebih dahulu, dan sejak sebelumnya telah dianugerahkan pangkat kenabian, sehingga dia tidak dapat dinyatakan sebagai yang terakhir -- maka jalan kedatangan bagi nabi terdahulu itu masih tetap terbuka tanpa memecahkan segel kenabian.

Poin dasar dalam pemaparan dalil seperti itu adalah, nabi yang telah lahir terlebih dahulu tidak dapat dinyatakan sebagai nabi terakhir. Apabila kita menyimak dalil seperti itu, maka tampak sangat lemah dan sia-sia.

Pertanyaannya adalah, jika hari ini di hadapan seorang pemuda berusia 20 tahun lahir seorang bayi, lalu dalam beberapa hari bayi itu meninggal, kemudian pemuda tersebut meninggal dunia 80 tahun berikutnya dalam usia 100 tahun, maka siapa yang akan ditulis terakhir oleh penulis sejarah ? Yakni, siapa yang akan dinyatakan terakhir oleh penulis sejarah yang memiliki pemahaman mendalam serta akal yang sehat ?

Apakah anak bayi itu, yang lahir belakangan, namun meninggal setelah hidup beberapa hari saja ? Ataukah pemuda yang telah lahir dahulu itu, yang wafat 80 tahun setelah kematian bayi tadi, dalam usia 100 tahun ?

Disayangkan, persis seperti itulah bentuk yang dipaparkan para ulama penentang kami. Dan mereka tidak melihat titik kelemahan logika tersebut. Mereka tidak memperhitungkan bahwa berdasarkan keterangan mereka, usia Nabi Isa a.s. kurang lebih 600 tahun ketika Nabi Muhammad Mushthafa saw. dilahirkan. Dalam usia 63 tahun, Rasulullah saw. telah wafat di masa hidup Nabi Isa. Dan sampai sekarang lebih 1400 tahun Isa Nabiullah itu masih tetap hidup. Cobalah katakan, ketika nanti dia turun, lalu akhirnya akan wafat setelah melaksanakan tugasnya, maka siapa yang akan dinyatakan sebagai yang terakhir dari segi waktu oleh seorang penulis sejarah yang objektif?

Menurut para ulama zahir, ayat Khaataman-nabiyyiin dari segi zaman/waktu tidak memberikan hak kepada siapapun sesudah Rasulullah saw. untuk menjadi yang terakhir. Lalu apa pula hak para ulama zahir itu untuk menyatakan Nabi Isa a.s. sebagai nabi terakhir dari segi waktu ? Pengingkaran terhadap hakikat tersebut sekedar dari mulut saja, tidaklah mengandung makna apapun. Sebab, mereka secara amalan mengakui Nabi Isa a.s. sebagai nabi yang paling terakhir di dunia ini ratusan tahun setelah Rasulullah saw..

Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah memaparkan gambaran yang lengkap dan menarik tentang ke-khatam-an Nabi Muhammad saw.. Gambaran itu benar-benar sangat langka dan tiada duanya. Beliau telah menguraikan tafsir ayat Khaataman-nabiyyiin dari berbagai aspek di dalam buku-buku beliau, berdasarkan Al-Qur’an Suci, dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap bagiannya menarik manusia ke arah iman dan irfan.

Beliau telah menggunakan istilah yang luar biasa dan sangat mengesankan. Yakni, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Hidup; Kitab kita, Al-Qur’an Majid, adalah suatu kitab yang hidup; dan Rasul kita, Yang Mulia Khaatamun Nabiyyiin Muhammad Mushthafa saw. adalah rasul yang hidup. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh beliau di dalam umat Islam. Dan secara benar beliau telah mempersiapkan kecintaan yang hakiki terhadap Muhammad Arabi saw., dalam kaitan dengan ke-khatam-an Nabi Muhammad.

Ketiga permasalahan pokok ini -- yakni keimanan terhadap Allah, keimanan terhadap Kitab, dan keimanan terhadap Rasul -- satu sama lain saling terkait dan saling berhubungan secara mendalam sehingga satu unsur tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur lainnya. Jadi, tidaklah mungkin dengan mengenyampingkan unsur-unsur lain, akidah-akidah dan pandangan-pandangan Pendiri Jemaat Ahmadiyah tentang suatu perkara dapat disimak. Jadi, tentang Khataman Nubuwwat, mutlak bagi kita untuk memperhatikan keimanan, akidah-akidah dan pandangan-pandangan beliau tentang Allah Ta'ala serta Al-Qur’an Karim. Sebab, jika tidak, penyimakan pemahaman beliau tentang Khatamun Nubuwwat, tidak dapat diketahui secara sempurna.

Kini kami mulai dengan masalah Allah Ta'ala. Kami paparkan beberapa kutipan dari pendiri Jemaat Ahmadiyah, yang insya Allah sesudah itu akan terbukti sangat membantu dalam memahami masalah Khatamun Nubuwwat.
Read more...

Amerika Tak Ubahnya Seperti Sebuah Boneka di Tangan Yahudi

Oleh : H.M. Tahir Ahmad r.t. (Khalifatul Masih ke IV)

Bagian I.

Sebelum saya memulai maslah pokok, ada dua hal yang ingin saya perbaiki. Kadang-kadang topik buku-buku yang telah lama sekali dibaca akan tetap diingat, akan tetapi menyebutkan kembali tahun penerbitannya dan lain-lain yang terkait akan terjadi kekeliruan. Biasanya, setelah menyampaikan khutbah, beberapa saudara Ahmadi memohon kepada saya pembetulannya, dan kadang-kadang saya pun teringat kekeliruan itu sesuai khutbah, yakni, teringat kembali bahwa apa yang telah disampaikan itu seharusnya bukan begitu sebenarnya tapi harus begitu.

Maka berdasarkan penjelasan tadi, ada dua hal yang perlu saya perbaiki, yaitu :

Yang pertama ialah, hal yang sangat penting karena berkaan dengan tahun ilham yang diterima oleh Hazrat Aqdas Masih Mau’ud a.s.

Saya pada waktu itu mengatakan ilham yang berikut ini, yaitu :

Friimeson musallat nehiii kiye jaaengge

Artinya : Freemason tidak akan diberi kekuasaan.

Diterima oleh Hazrat Aqdas Masih Mau’ud a.s. pada tahun 1905.

Yang benar ilham ini diterima beliau pada tahun 1901.

Dan saya pun, berkenaan dengan tahun 1905 ini, mengatakan bahwa buku Protocols of The Elders of Zion Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris, didalamnya diterangkan suatu rencana dominasi Freemason yang memegang peranan penting didalam rencana dominasi kaum Yahudi (Israel).

Yang benar ialah buku tersebut terbit di dalam bahasa Rusia. Jadi, pada waktu itu belum terbit dalam bahasa Inggris. Dari kenyataan ini akan lebih nampak lagi keagungan ilham yang diterima oleh Hazrat aqdas Masih Mau’ud a.s. sehingga akal menjadi terheran-heran dibuatnya, sebab pada saat itu buku tersebut masih berada di dalam bahasa Rusia, sedangkan dunia di luar sana belum mengetahui tentang rencana tersebut. Akan tetapi Allah Ta’ala, empat tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1901, telah memberi tahukan kepada Hazrat Masih Mau’ud a.s. (pendiri Jemaat Ahmadiyah) dengan perantara ilham bahwa di atas dunia ini ada rencana dominasi kaum Yahudi yang di dalamnya Freemason mengambil peranan yang penting.

Namun, Allah Ta’ala memberi jaminan kepada beliau dengan mengatakan :

“Aku berjanji kepadamu bahwa Freemason tidak akan diberi kekuasaan atasmu dan atas jema’atmu".

bersambung

Read more...

artikel islam

Perlunya Agama Islam

Feb 15, 2009 at 05:20 PM

Adalah bodoh untuk membayangkan bahwa beberapa hal yang dikemukakan dalam kitab Injil sebagai agama. Semua hal yang yang esensial bagi kesempurnaan manusia harus tercakup dalam ruang lingkup suatu agama. Agama harus mencakup semua hal yang menuntun manusia dari kondisi alamiah liarnya kepada kondisi kemanusiaan yang sebenarnya, dan dari sana membawa manusia ke tingkatan hidup yang bijak, setelah itu membawanya lagi kepada kehidupan yang sepenuhnya merupakan pengabdian kepada Allah s.w.t.

Read more...
Read more...

Keagungan Al-Qur'an

on Minggu, 08 Maret 2009

Pemeliharaan Al-Qur'an PDF Print E-mail
Feb 15, 2009 at 05:50 PM

Ada sebuah janji di dalam Al-Qur’an bahwa Allah s.w.t. akan memelihara Islam saat menghadapi bahaya dan percobaan seperti diungkapkan dalam ayat:
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan peringatan ini dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya”. (QS.Al-Hijr(15):10).
Sesuai dengan janji tersebut maka Allah yang Maha Perkasa akan menjaga Firman-Nya dengan empat cara. Pertama, melalui daya ingat mereka yang telah menghafal keseluruhan Al-Qur’an sehingga keutuhan teks dan urutannya tetap terjaga.
Pada setiap zaman terdapat ratusan ribu orang yang menghafalkan Al-Qur’an di luar kepala dimana jika ada yang menanyakan satu kata saja, mereka ini dapat mentilawatkan kalimatnya. Melalui cara ini Al-Qur’an dipelihara terhadap penyimpangan verbal sepanjang masa. Kedua, melalui ulama-ulama akbar di setiap zaman yang memperoleh pemahaman Al-Qur’an, dimana mereka ini menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan Hadits, sehingga dengan cara tersebut Firman Tuhan terpelihara dari penyimpangan penafsiran dan arti. Ketiga, melalui para cendekiawan yang mengungkapkan ajaran Al-Qur’an berdasarkan logika dan dengan demikian memeliharanya terhadap serangan dari para filosof yang berpandangan cupat. Keempat, melalui mereka yang mendapat karunia keruhanian dimana mereka di setiap zaman menjaga Firman Suci Tuhan terhadap serangan-serangan dari mereka yang menyangkal mukjizat dan wawasan keruhanian. (Ayyamus Sulh, Qadian, Ziaul Islam Press, 1899; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 14, hal. 288, London, 1984).
* * *
Jangan sampai umat Islam berpandangan bahwa turunnya wahyu dimulai dengan kedatangan Nabi Adam a.s. dan telah berakhir dengan selesainya penugasan Hadzrat Rasulullah s.a.w. sehingga setelah beliau lalu dianggap wahyu Ilahi tidak ada lagi. Janganlah kita mempunyai keyakinan seperti bangsa Hindu yang berpendapat bahwa Firman Tuhan hanya terbatas kepada apa yang sudah disampaikan-Nya saja. Sejalan dengan aqidah Islam, yang namanya firman, pengetahuan dan kebijakan-Nya, sebagaimana juga Wujud-Nya, adalah bersifat tidak terbatas. Allah yang Maha Agung berfirman:
“Katakanlah: “Sekiranya setiap lautan menjadi tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Tuhan-ku, niscayalah lautan itu akan habis sebelum kalimat-kalimat Tuhan-ku habis, sekalipun Kami datangkan sebanyak itu lagi sebagai bantuan tambahan”“. (S.18 Al-Kahf:110).
Kami memahami telah berhentinya wahyu Ilahi turun ke bumi dalam pengertian bahwa karena yang telah diturunkan berupa Al-Qur’an sudah sangat lengkap guna memperbaiki kondisi umat manusia maka tidak akan ada lagi kaidah baru. Pada saat diturunkannya Al-Qur’an tersebut, segala hal yang berkaitan dengan akhlak, aqidah dan perilaku manusia sudah rusak sama sekali dimana segala bentuk penyimpangan dan kejahatan telah mencapai puncaknya. Karena itulah ajaran yang dibawa Al-Qur’an bersifat sangat komprehensif. Dalam pengertian inilah dikatakan bahwa kaidah yang dikemukakan Al-Qur’an bersifat sempurna dan terakhir atau final, sedangkan kaidah yang dibawa oleh Kitab-kitab suci terdahulu itu tidak lengkap karena tingkat kejahatan manusia di masanya belum mencapai klimaks sebagaimana saat diturunkannya Al-Qur’an.
Perbedaan di antara Al-Qur’an dengan Kitab-kitab yang diwahyukan lainnya adalah meskipun Kitab-kitab itu dipelihara dengan segala cara, tetapi karena ajaran yang dibawanya tidak sempurna maka masih diperlukan diwahyukan¬nya Al-Qur’an sebagai ajaran yang paling sempurna. Hanya saja tidak akan ada lagi Kitab lain yang akan diwahyukan setelah Al-Qur’an karena tidak ada sesuatu yang bisa melampaui apa yang namanya kesempurnaan. Bilamana diandaikan bahwa prinsip-prinsip hakiki dari Al-Qur’an bisa disesatkan seperti halnya Veda dan Injil dimana manusia menciptakan sekutu bagi Tuhan-nya serta ajaran Ketauhidan Ilahi diselewengkan dan disesatkan sehingga berjuta-juta umat Islam lalu mengikuti syirik dan menjadi penyembah makhluk, maka dalam keadaan seperti itu bisa jadi perlu diwahyukan syariat baru dan diutus seorang Rasul baru. Namun perandaian seperti ini jelas tidak masuk akal.
Penyesatan ajaran Al-Qur’an tidak mungkin terjadi karena Allah yang Maha Agung telah berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan peringatan ini dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya”. (S.15 Al-Hijr:10).
Kebenaran daripada nubuatan ini telah dibuktikan sepanjang sejarah selama 1300 tahun terakhir. Sejauh ini tidak ada ajaran pagan atau penyembahan berhala bisa berhasil menyusup ke dalam Al-Qur’an sebagaimana yang terjadi pada Kitab-kitab suci lainnya. Pikiran waras pun tidak bisa membayangkan bahwa hal seperti itu dapat terjadi. Berjuta-juta umat Islam telah menghafalkan Al-Qur’an di luar kepala dan terdapat ribuan buku tafsir yang akan menjaga arti dan pengertiannya. Ayat-ayatnya ditilawatkan dalam shalat lima kali sehari dan Kitab ini dibaca orang setiap hari. Kitab ini dicetak di semua negeri-negeri di dunia dalam jumlah jutaan buku dimana ajarannya karena diketahui oleh setiap orang sehingga kita pun menyadari secara pasti bahwa adanya perubahan atau penyimpangan dalam ayat-ayat Al-Qur’an merupakan suatu hal yang sama sekali tidak mungkin terjadi. (Barahin Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 100-102, London, 1984).

Read more...

Ahmadiyyah Menjawab Tuduhan

Ahmadiyyah menjawab tuduhan: tuduhan tentang bahwa Mirza Ghulam Ahmad mempunyai keyakinan bahwa tuhan mempunyai sifat seperti manusia adalah tidak benar. pernyataan itu hanya suatu majaz atau istiarah. sebagaimana Rasulullah saw dalam hadits muslim bersabda: tidak ada yang lebih pencemburu seperti cemburunya Allah swt. pertanyaannya:"Apakah Allah punya sifat cemburu? Read more...